Berikut penjelasannya menurut bobby84arsitek:
Bangunan Cagar Budaya Yang Perlu Ditentang
Kita bertolak dari pemahaman bahwa sumber daya untuk pelestarian bersifat terbatas.
Dalam konteks ini, prioritas idealnya diberikan kepada bangunan cagar budaya yang secara jelas merepresentasikan nilai-nilai estetika arsitektur yang signifikan, memiliki keunikan gaya yang patut dilestarikan, serta berpotensi kuat untuk menarik wisatawan dan memberikan manfaat ekonomi.
Jika sebuah bangunan cagar budaya tidak memenuhi kriteria-kriteria fundamental seperti ekonomi, estetika arsitektur dan budaya, maka alokasi sumber daya untuk pemeliharaannya patut dipertimbangkan kembali, memungkinkan fokus dialihkan pada aset budaya lain yang memiliki dampak pelestarian dan pengembangan yang lebih besar bagi masyarakat dan kota, Dan wilayah tersebut dapat dialokasikan peruntukan yang lain dalam ranah perencanaan tata wilayah yang sekiranya bisa mendukung potensi daerah tersebut.Mendukung Bangunan Cagar Budaya
Kita mengajukan sanggahan terhadap pandangan yang mereduksi nilai bangunan cagar budaya semata-mata pada aspek estetika, arsitektur yang 'bernilai', dan potensi wisata. Justru, esensi pelestarian cagar budaya seringkali terletak pada nilai-nilai yang lebih dalam dan tidak kasat mata.
Sebuah bangunan mungkin tidak memukau secara visual atau memiliki daya tarik wisata konvensional, namun ia bisa menyimpan nilai sejarah yang mendalam, menjadi saksi bisu peristiwa penting, merepresentasikan perkembangan sosial dan budaya masyarakat, atau bahkan memiliki nilai sentimental yang kuat bagi komunitas lokal.
Mengabaikan bangunan seperti itu hanya karena 'kurang indah' atau 'tidak menarik' adalah tindakan yang berpotensi menghilangkan jejak penting dari narasi sejarah dan identitas kita. Nilai sebuah cagar budaya tidak selalu terukur secara visual atau ekonomis, melainkan juga melalui cerita dan makna yang terkandung di dalamnya.
Pertimbangan lain
Disisi lain, kota maupun kabupaten yang semakin padat masyarakat dan langka nya lapangan pekerjaan, banyak masyarakat yang alih profesi sebagai pedagang. Lebih ironis lagi para pedagang yang kemungkinan sebagiannya modal kerjanya disokong dari dana kredit, sehingga ada tuntutan "kewajiban angsuran".
Sehingga Kota dan Kabupaten juga butuh devisa wisata agar ekonomi masyarakatnya dapat memiliki roda ekonomi dimana masih punya hubungan erat dengan "rakyat membayar pajak" demi ekonomi negara juga.
Hipotesis
Jika kota dan kabupaten minim aset dan pengunjung wisata, roda ekonomi masyarakat berputarnya bagaimana?
Bayar pajak nya dari mana?
Mayoritas rakyat kan tidak makan dari APBN dan APBD..! Justru rakyat makannya dari laba pertukaran barang dan jasa..!
Apakah bangunan cagar budaya yang sudah kronis (secara metodologi SWOT) masih perlu dipertahankan?
Kesimpulan sementara
Lagipula menurut catatan sejarah, penjajah bel**anda datang kesini dalam rangka eksploitasi, bukan untuk membangun masyarakat dan daerah sehingga butuh bangunan-bangunan pendukung untuk melancarkan aksinya.. maka dari itu,
kita perlu paham perbedaan konteks antara "bangunan budaya" versus "bangunan man-tan penjajah".
Secara harifiah, meng-eksploitasi bangunan man-tan penjajah demi prospek wisata, hal itu masih masuk akal namun, membingkai bangunan man-tan penjajah menjadi bangunan budaya, menurut bobby84arsitek itu tidak masuk akal karena, melestarikan bangunan man-tan penjajah menjadi bangunan budaya seolah-olah dan memberikan kesan di mata masyarakat internasional bahwa:
"masyarakat kita masih (bermental) merindukan di jajah kembali.."
😓
Mosog masyarakat punya budaya rindu di jajah, kan aneh? Yang penting jangan sampai kita masih di jajah oknum-oknum bangsa rasa penjajah..
😁
🙏