KAMUS HUKUM :
PROSES HUKUM :
Surat Permahonan Pendampingan
Berita Acara Perkara (Kronologi)
Berita Acara Penyidikan (Investigasi)
Surat Kuasa
Klarifikasi
Somasi
REGULASI UMUM :
UU RI No.17 Tahun 2013 tentang Ormas & LSM
UU RI No.39 Tahun 1999 tentang HAM
UU RI No.40 Tahun 1999 tentang PERS
UU RI No.05 Tahun 1999 tentang Monopoli & Persaingan Usaha
UU RI No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
UU RI No.02 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 42 butir 1 tentang Hub. kerjasama dengan Polri
Peraturan kapolri No.07 Tahun 2006 Pasal 10 butir D & E tentang Hub. kerjasama dengan Polri
PP RI No.02 Tahun 2003 Disiplin Polri Pasal 6 butir W tentang Pungli
REGULASI ADVOKASI :UU RI No.16 Tahun 2011 tentang Pelayanan Bantuan Hukum
UU RI No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
UU RI No.16 Tahun 2011 tentang Pedoman Bantuan Hukum
UU RI No.18 Tahun 2013 tentang Advokasi
PP RI No.42 Tahun 2013 tentang Syarat & Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
PerMA No.1 Tahun 2014 tentang Bantuan Hukum
K U H Pidana :
KUHP Pasal 52 tentang Pejabat Terpidana +1/3 hukuman
KUHP Pasal 56 tentang Bersekutu / Terlibat Kejahatan
KUHP Pasal 107 tentang Makar / Sparatisme
KUHP Pasal 110 tentang Mufakat Jahat
KUHP Pasal 156 tentang Wajib Lapor Dugaan Pidana
KUHP Pasal 221 tentang Menghalangi Proses Penyidikan
KHUP Pasal 233 tentang Menghilangkan Barang Bukti
KHUP Pasal 242 tentang Sumpah Palsu & Keterangan Palsu
KHUP Pasal 263 tentang Pemalsuan
KHUP Pasal 310 tentang Pencemaran Nama Baik
KHUP Pasal 315 tentang Penghinaan Ringan
KHUP Pasal 318 tentang Perbuatan Fitnah
KHUP Pasal 335 tentang Tindakan Tidak Menyenangkan
KHUP Pasal 351 tentang Penganiayaan
KHUP Pasal 362 tentang Pencurian
KHUP Pasal 365 tentang Pencurian + Kekerasan / PERAMPASAN
KHUP Pasal 368 tentang Pemerasan + Ancaman Kekerasan / TEROR
KHUP Pasal 372 tentang Penggelapan
KHUP Pasal 378 tentang Curang / Penipuan
Kamus HUKUM.docx
Penjelasan Pasal 221 KUHP tentang menghalangi penyidikan
Dalam Pasal 221 KUHP, diatur mengenai hukuman pidana orang yang menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;
2. barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
(2) Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya.
Penjelasan Pasal 233 KUHP tentang Merusak barang Bukti
Jika yang Anda lakukan adalah merusak barang bukti, maka dapat dipidana berdasarkan Pasal 233 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Penjelasan Pasal 56 KUHP tentang berkomplot
Mengenai membantu terjadinya suatu kejahatan (medeplighitigheid) diatur dalam Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan:
Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) suatu kejahatan:
Ke-1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
Ke-2. Mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Sedangkan, tindak pidana penipuan diatur Pasal 378 KUHP yang menyatakan:
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedaningheid)
palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kata kebohongan,
menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau
supaya memberi utang kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapus piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
Dari rumusan
Pasal 378 KUHP tersebut, maka tidak hanya orang yang berniat untuk
menguntungkan diri sendiri yang dapat dikenakan pidana penipuan, namun
juga orang yang berniat menguntungkan orang lain.
Dalam
permasalahan yang Anda tanyakan, memang orang yang membantu terjadinya
penipuan tersebut tidak menguntungkan diri sendiri, namun apabila
tindakannya tersebut menguntungkan orang lain (pelaku penipuan), maka
orang yang membantu terjadinya tindak pidana penipuan tersebut dapat
dikenai pidana sesuai dengan pengaturan Pasal 56 Jo. 378 KUHP.
Penjelasan UU ITE tentang penipuan
Mengenai penipuan online tidak ada pengaturannya secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
Yang diatur dalam UU ITE adalah penyebaran berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE:
“Setiap
Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.”
Terhadap
pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam pidana penjara paling lama
enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.[1]
Melihat
pada ketentuan dalam UU ITE, yang menjadi titik beratnya adalah adanya
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen.
Tidak penting berapa kerugian yang diakibatnya.
Selain dalam UU ITE, ketentuan mengenai tindak pidana penipuan juga dapat ditemukan dalam Pasal 378 dan Pasal 379 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), dengan rumusan pasal sebagai berikut:
Pasal 378 KUHP:
“Barangsiapa
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat
(hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang,
diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.”
Pasal 379 KUHP:
“Perbuatan
yang dirumuskan dalam pasal 378, jika barang yang diserahkan itu bukan
ternak dan harga daripada barang, hutang atau piutang itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah
diancam sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.”
Jika
melihat pada ketentuan dalam KUHP, maka yang dibedakan adalah apakah
tindak pidana tersebut adalah penipuan atau penipuan ringan.
Penipuan
ringan adalah penipuan dimana barang yang diserahkan akibat penipuan
itu harganya tidak lebih Rp. 25,-. Akan tetapi, dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangNomor 16 Tahun 1960 tentangBeberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidanadan Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP, maka jumlah Rp. 25,- tersebut disesuaikan menjadi Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Melihat pada ketentuan Pasal 379 KUHP, jelas bahwa yang dimaksud dengan penipuan ringan bukan yang harga barangnya minimal Rp 2.500.000,- akan tetapi yang harga barangnya tidak lebih dari Rp 2.500.000,00.
Mengenai
kasus Anda, jika Anda ditipu sejumlah Rp100.000,- yang berarti tidak
lebih dari Rp2.500.000,- maka tindak pidana tersebut dianggap sebagai
penipuan ringan yang diatur dalam Pasal 379 KUHP.
Akan tetapi, sebagaimana disampaikan oleh Iman Sjahputra dalam artikel Konsumen Masih Dirugikan dalam Transaksi Elektronik, jumlah kerugian konsumen dari transaksi elektronik banyak, akan tetapi seringkali tidak
dilaporkan ke pihak berwenang karena nilai transaksinya dianggap tidak
terlalu besar. Padahal beberapa masuk ranah pidana seperti kasus
penipuan.
Penjelasan Pasal 372 dan 374 tentang Penggelapan
Pasal 372 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu
yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang
ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena
penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 374 KUHP:
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Mengenai Pasal 372 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal
(hal. 258) mengatakan bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362 KUHP. Bedanya ialah bahwa pada pencurian
barang yang dimiliki itu masih belum berada di tangan pencuri dan masih
harus “diambilnya”, sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang
itu sudah ada di tangan si pembuat tindak pidana tidak dengan jalan
kejahatan.
Sedangkan mengenai Pasal 374 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa ini adalah penggelapan dengan pemberatan. Pemberatan-pemberatan itu adalah:
1. Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya perhubungan antara majikan dengan buruh;
2. Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya, misalnya tukang binatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya;
3. Karena mendapat upah uang (bukan upah yang berupa barang), misalnya
pekerja stasiun membawakan barang orang penumpang dengan upah uang,
barang itu digelapkannya.
Penjelasan Pasal 263 tentang Dokumen Palsu
(1) Barang
siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan
sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan
sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan
tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun.
(2) Diancam
dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat
palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
Selanjutnya, di dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa:
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1. akta-akta otentik;
2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:
4. talon,
tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan
dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti
surat-surat itu;
5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;
(2) Diancam
dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat
tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang
dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal
(hal. 195) mengatakan bahwa yang diartikan dengan surat dalam bab ini
adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun
ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya.
Surat yang dipalsukan itu harus surat yang:
1. dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain);
2. dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);
3. dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang (kuitansi atau surat semacam itu); atau
4. surat
yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau peristiwa
(misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku
harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).
Adapun bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut Soesilo dilakukan dengan cara:
1. membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).
2. memalsu
surat: mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya menjadi lain dari
isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa surat itu
diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan, menambah
atau merubah sesuatu dari surat itu.
3. memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat.
4. penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak (misalnya foto dalam ijazah sekolah).
Unsur-unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di atas adalah: (Ibid, hal. 196)
1. pada
waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau
menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak
dipalsukan;
2. penggunaannya
harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak perlu
kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian
itu sudah cukup;
3. yang
dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga
sengaja menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang
menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan
itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.
Sudah
dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang
lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di
tempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan.
4. Dalam
hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu
bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula
perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.
Lebih lanjut, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP,
bahwa tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih
berat ancaman hukumannya apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah
surat-surat otentik. Surat otentik, menurut Soesilo adalah surat yang
dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang,
oleh pegawai umum seperti notaris (hal. 197).
Penjelasan Pasal 242 tentang Kesaksian Palsu
Memberikan keterangan palsu saat menjadi saksi di persidangan dapat diancam dengan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) khususnya
ayat (1) dan (2) tentang memberi keterangan di atas sumpah atau yang
biasa disebut delik Sumpah Palsu/Keterangan Palsu:
Ayat 1:
“Barangsiapa
dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi
keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan
yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah,
baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya
yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.”
Ayat 2:
“Jika
keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan
merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.”
R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 183) menjelaskan bahwa supaya dapat dihukum unsur-unsur ini harus dipenuhi:
a. Keterangan itu harus di atas sumpah.
b. Keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu.
c. Keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan.
Soesilo
juga menambahkan bahwa supaya dapat dihukum pembuat harus mengetahui
bahwa ia memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan dengan
kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah.
Jika pembuat menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran,
akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak benar, dengan lain perkataan,
jika ternyata ia tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia
tidak dapat dihukum. Menyembunyikan kebenaran itu belum berarti suatu
keterangan palsu. Suatu keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain
dari pada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki (disengaja).
Sebelum
saksi tersebut dituntut melakukan tindak pidana memberikan keterangan
palsu, hakim memperingatkan saksi terlebih dahulu. Pasal 174 KUHAP menyatakan bahwa apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan
dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang
sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan
kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. Kemudian,
apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena
jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat
memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut
perkara dengan dakwaan sumpah palsu.