MENU

Selasa, 14 November 2017

UU Pers, Perlindungan Wartawan dan Pelanggaran Kode Etik


Dalam sebuah Pelatihan Jurnalistik di Bagansiapi-api, seorang peserta bertanya dengan lugas: "Pak, bukankah sekarang era kebebasan pers tapi kenapa kita dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik dibatasi hak mendapatkan informasi. Dihalang-halangi, bahkan diperlakukan seperti preman. Bukankah wartawan itu dilindungi undang-undang?"

Pertanyaan itu spontan membuat peserta lain bertepuk tangan. Dan, seakan bersemangat mendengar ulasan, apa kira-kira jawaban saya di pelatihan itu.

Bagi saya, pertanyaan itu bukan hal baru. Dalam banyak pelatihan di mana saya selalu mendapat jatah menyampaikan soal Undang-undang Pers dan Kode Etik, masalah kekerasan dan perlindungan terhadap wartawan, seakan menjadi pertanyaan yang berlangganan.

Tak jarang pertanyaan serupa diselingi dengan kasus-kasus yang menimpa wartawan di lapangan.

Freedom of Press atau kebebasan pers (UU Pers memakai istilah kemerdekaan), dalam masyarakat sipil yang demokratis adalah sebuah keharusan.

Sebab, masyarakat yang demokratis itu sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Melalui HAM pers mampu menyalurkan hak-hak sipil, baik hak berekspresi maupun hak menyampaikan pendapat secara lisan dan tertulis.

Bagi negara-negara penganut paham demokrasi, penyaluran hak-hak sipil itu hanya dapat dilakukan apabila sistem persnya bebas (pers liberal).

Indonesia merupakan salah satu negara penganut paham pers liberal. Liberalisasi pers itu dapat kita temukan dalam Undang-undang No 40/ 1999 tentang Pers.

Pasal 4 UU itu menegaskan: Pertama, Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Kedua, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Ketiga, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Ketentuan ini berbeda dengan pers di zaman Orde Baru yang menganut paham otoritarian. Pers nasional di zaman Orba dikooptasi oleh negara sehingga fungsi pers tak lebih dari sekadar menjadi corong pemerintah.

Di masa ini pula kita menyaksikan banyaknya tindakan anti terhadap pers. Tak sedikit wartawan yang dijebloskan ke penjara, diintimidasi, digebuki bahkan dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers nya. Alias dimatikan.

Pers Orde Reformasi adalah refleksi kebangkitan masyarakat sipil (civil society) yang bertekad membangun sebuah tatanan pemerintahan demokratis setelah lebih dari 30 tahun berada dalam masyarakat yang otoritarian. Boleh disebut, liberalisasi pers di era Reformasi adalah perjuangan panjang masyarakat pers dan komponen masyarakat lainnya setelah disuguhi pil pahit oleh pemerintahan Soeharto. Dipenjara, diasingkan, ditangkap, diintrogasi, dibredel itulah antara lain perilaku otoritarian yang dirasakan orang-orang pers dalam menjalankan fungsi pemantauan.

Demokrasi dan demokratisasi tidak hanya memerlukan kuatnya eksistensi pers sebagai pilar keempat, tetapi sekaligus memerlukan sinergi positif untuk saling memberi kontribusi yang terbaik. Melalui pers yang merdeka, penyelenggaraan pemerintahan dan demokrasi dapat dikontrol supaya tetap berjalan pada jalan yang lurus dan benar. Pers juga memperjuangkan keadilan dan kebenaran, dan berdasarkan fungsi tersebut pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate). Fungsi dimaksud baru dapat dijalankan secara optimal apabila pers mendapat jaminan kemerdekaan dari pemerintah melalui undang-undang.

Perlindungan Wartawan
Benarkah wartawan mendapat perlindungan hukum? Pertanyaan itu mudah-mudah sulit dijawab. Akan tetapi wartawan tak ada bedanya dengan profesi lain. Dokter, advokat, guru, politisi, akademisi, birokrat dan para buruh, semuanya adalah anak-anak bangsa yang dilindungi hak-haknya secara konstitusional. Perlindungan yang sama terhadap anak-anak bangsa itu sesuai pula dengan asas equality before the law (setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum). Equality before the law berasal dari pengakuan terhadap individual freedom. Thomas Jefferson menyatakan bahwa that all men are created equal  terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar manusia. Pasal  27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya. Dengan demikian konsep equality before the law telah diintodusir dalam konstitusi, suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di  Tanah Air.

Perlindungan hukum untuk wartawan adalah amanah UU No 40/1999 tentang Pers. Dalam Pasal 8 dikatakan, Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Yang dimaksud dengan perlindungan hukum oleh undang-undang ini adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang jadi masalah adalah, bagaimana memahami rumusan ketentuan undang-undang itu. Bila memakai rumus penulisan klasik piramida terbalik yang bertumpu pada 5W+1H maka pertanyaan atas perlindungan hukum terhadap wartawan itu berkisar pada: Apa, Siapa, Dimana, Kapan, Mengapa dan Bagaimana. Atau Apa, Siapa, Mengapa, Bilamana, Dimana dan Bagaimana. Rumusan ini lah yang sampai sekarang sulit dirumuskan karena Pasal 8 UUPers itu sendiri mengundang multi tafsir.

Dalam Teori Hak Asasi Manusia (HAM) perlindungan terhadap wartawan itu merupakan bagian dari HAM yang berkait kelindan dengan tugas-tugas jurnalistik yang meliputi hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Perlindungan HAM tidak saja bermakna sebagai jaminan negara memproteksi HAM dalam berbagai kebijakan regulasi, tetapi juga reaktif melakukan tindakan hukum apabila terjadi pelanggaran hukum. Dr Suparman Marzuki berpendapat, jika dalam suatu negara, HAM terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka negara tidak dapat disebut sebagai negara hukum dan demokrasi dalam arti sesungguhnya.

Masuknya kata perlindungan hukum ke dalam UU Pers jelas semakin memperkokoh pelaksanaan tugas wartawan di dalam mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan (6M) informasi kepada masyarakat, sebab unsur 6M itu terkait dengan kepentingan masyarakat dalam mendapatkan informasi, dan jaminan kepada pers di dalam menjalankan fungsi-fungsi pers terutama fungsi sosial kontrol yang memang diperlukan untuk menopang bangunan demokrasi.

Hanya saja, perlindungan hukum terhadap wartawan dalam 6M diberikan secara terbatas oleh undang-undang, yakni pada saat wartawan melaksanakan kegiatan-kegiatan jurnalistik. Di luar aktivitasnya sebagai wartawan, misalnya saat berada di mal bersama keluarga, di kedai kopi ngobrol bareng teman-temannya, atau sedang liburan dengan sanak famili, Undang-undang Pers tidak memberikan jaminan perlindungan hukum. Karenanya patut dibedakan, kapan Pasal 8 UU Pers tersebut berlaku bagi wartawan, dan kapan pula tidak. Ini patut dipahami oleh para wartawan agar tidak timbul penafsiran yang beragam terhadap rumusan Pasal 8. Dan, wartawan tidak pula merasa membusungkan dada bahwa dirinya dilindungi oleh undang-undang sepanjang waktu berprofesi jurnalistik.

Pelanggaran Kode Etik
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) adalah rumah kita. Panduan dan pedoman bagi wartawan di dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Pasal 7 UU Pers menegaskan, Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Menaati mengandung perintah bahwa wartawan wajib menjalankan profesinya beralaskan kepada KEJ.

Pelanggaran terhadap KEJ merupakan pelanggaran atas kaedah hukum, dan bukan pelanggaran etika atau moral semata. Sebab, ketaatan atas KEJ telah diperintahkan oleh UU Pers.

Fakta menunjukkan bahwa, liberalisasi pers tidak ditopang dengan resourches yang kredibel sehingga dalam praktik sering ditemukan, wartawan banyak melakukan pelanggaran atas KEJ tak terkecuali di Provinsi Riau terutama di kabupaten/ kota.

Pelanggaran KEJ itu selain disebabkan tak dipahaminya kode etik juga karena munculnya anggapan di internal wartawan bahwa mereka bebas mengakses informasi apapun yang terkait dengan kepentingan umum tanpa mempertimbangkan kepentingan nara sumber apalagi investigasi mereka merasa terlindungi oleh UU No 14/ 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Ragam atas pelanggaran itu dapat disimak dari pengaduan masyarakat ke Dewan Pers sepanjang tahun 2012 dimana dari 167 pengaduan, 88 di antaranya mengadukan masalah pemberitaan media.

Disusul kemudian kekerasan menimpa wartawan, perilaku wartawan, menghalangi wartawan, tidak memuat hak jawab, wartawan/ media digugat karena berita, UU Pers tidak digunakan penegak hukum dan lain-lain.

Dewan Pers kemudian mempilah pengaduan-pengaduan yang masuk itu ke dalam dua jenis. Yakni pertama, pengaduan menyangkut kinerja pers oleh masyarakat, pemerintah dan lain-lain. Kedua, pengaduan kalangan wartawan terhadap kekerasan yang mereka alami di lapangan.

Di lain pihak Dewan Pers juga menemukan fakta bahwa wartawan banyak melakukan pelanggaran terhadap KEJ.

Adapun substansi KEJ yang dilanggar itu antara lain meliputi tidak terpenuhinya perimbangan berita, wartawan mencampur-adukkan fakta dengan opini, informasi yang tidak akurat, tidak melakukan konfirmasi, tidak jelas nara sumber pemberitaan, dan lain-lain pelanggaran.

Dari data yang dipublikasikan Dewan Pers dalam tahun 2012, media cetak dilaporkan sebanyak 66, media elektronik 21 dan online 21. Total pengaduan yang masuk berjumlah 108.

KEJ merupakan landasan moral profesi yang harus ditaati dan dipedomani oleh setiap wartawan. Prof Bagir Manan menyebut, hasil pertanggungjawaban seorang wartawan tercermin dari bagaimana wartawan memahami dan mentaati kode etik.

Wartawan yang tidak memahami kode etik, kata Bagir, akan cendrung menghasilkan karya-karya yang tidak memenuhi standar jurnalisitk dan bahkan membuka peluang terjadinya tuntutan hukum.

Mengutip Mahbub Junadi, Bagir Manan menegaskan, wartawan yang bekerja tanpa mengindahkan kode etik bagaikan teroris. Saya sependapat dengan pandangan itu. Tetapi yang lebih mencemaskan dengan ketidakpatuhan terhadap  kode etik itu adalah masa depan freedom of press.***


Syafriadi, Ketua Serikat  Perusahaan Pers Cabang Riau

Cara Menaksir Harga Rumah Berdasarkan NJOP

Harga rumah di Jakarta bisa dikatakan tidak murah lagi. Bahkan, rumah petakan yang ukurannya kecil dijual dengan harga ratusan juta ru...