MENU

Kamis, 09 Februari 2017

Jebakan Hukum Swakelola Rehabilitasi Sekolah

Beberapa hari lalu saya dibuat tercengang dengan berita pada laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang berjudul “Swakelola Rehabilitasi Sekolah Dinilai Lebih Baik.”
 
Yang membuat saya tercengang adalah, tulisan tersebut sama sekali tidak mencantumkan dasar hukum apapun untuk mendukung pernyataan yang tertulis. Tulisan tersebut juga mencantumkan beberapa pernyataan di bawah ini:

  1. Mekanisme pembangunan ruang kelas lebih baik menggunakan sistem swakelola dibandingkan dengan proses tender;
  2. Sistem  swakelola dapat menghemat anggaran 25-30 persen;
  3. Dicontohkannya,  di SDN Kendayakan Kragilan, dengan dana rehabilitasi Rp196 juta untuk tiga lokal dapat menambah satu lokal untuk guru dan untuk sanitasi; dan
  4. Keuntungan lainnya adalah dapat menciptakan lapangan kerja.
Apakah benar pernyataan-pernyataan tersebut? Mari kita telaah.

Dasar Hukum

Pelaksanaan pengadaan rehabilitasi sekolah wajib mengacu pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 karena anggaran yang digunakan adalah APBN. Hal ini tertuang pada Pasal 2 Perpres 54/2010 yaitu “Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD.”

Khusus swakelola, dijelaskan pada Pasal 26 Ayat 1 Perpres 54/2010 yaitu “Swakelola merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat.”

Pada pasal ini dapat dilihat bahwa swakelola terdiri atas 3 jenis, yaitu:
  1. K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran;
  2. Instansi Pemerintah Lain; atau
  3. Kelompok Masyarakat.
Persyaratan sebuah pekerjaan dapat diswakelolakan yang dituangkan dalam Pasal 26 Ayat 2 adalah:
  1. pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia serta sesuai dengan tugas pokok K/L/D/I;
  2. pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat;
  3. pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa;
  4. pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang besar
  5. penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan;
  6. pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa;
  7. pekerjaan survei, pemrosesan data, perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium dan pengembangan sistem tertentu;
  8. pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan;
  9. pekerjaan Industri Kreatif, inovatif dan budaya dalam negeri;
  10. penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan/atau
  11. pekerjaan pengembangan industri pertahanan, industri alutsista dan industri almatsus dalam negeri.
Mari ditelaah satu persatu persyaratan tersebut:
  1. Tugas pokok sekolah adalah menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar bukan untuk melaksanakan rehabilitasi gedung dan bangunan, sehingga seharusnya sekolah tidak dapat melaksanakan swakelola untuk rehabilitasi gedung dan melanggar Pasal 26 Ayat 2 Huruf a.
  2. Gedung sekolah juga tidak masuk dalam klasifikasi pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat karena operasi dan pemeliharaan sehari-hari dilaksanakan oleh manajemen sekolah. Contoh pekerjaan yang operasi dan pemeliharaan memerlukan partisipasi langsung masyarakat adalah WC Umum atau jalan desa karena memang digunakan langsung sehari-hari oleh masyarakat.
  3. Pasal 26 Ayat 2 huruf c hingga k juga tidak dapat dijadikan dasar untuk swakelola rehabilitasi sekolah.
Sehubungan dengan hal tersebut maka sekolah tidak dapat melaksanakan rehabilitasi gedung dengan cara swakelola.

Salah satu alasan yang sering disampaikan adalah dana rehabilitasi merupakan dana hibah, sehingga dapat dilakukan dengan cara swakelola.

Pendapat ini merupakan pendapat yang masih berdasarkan kepada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 yang memang menyebutkan bahwa salah satu tipe swakelola adalah “Kelompok masyarakat penerima hibah.”

Kata “penerima hibah” ini telah dihilangkan pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010.

Bahkan khusus untuk kelompok masyarakat yang boleh melaksanakan swakelola, telah ditekankan pada Pasal 31 Huruf b Perpres 54/2010 yaitu “pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa hanya diserahkan kepada Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola yang mampu melaksanakan pekerjaan.” Hal ini menegaskan bahwa harus ada penilaian terlebih dahulu apakah kelompok tersebut mampu atau tidak. Kemampuan biasanya sejalan dengan tugas pokok dari kelompok masyarakat setempat, misalnya kelompok masyarakat petani pasti memiliki kemampuan dalam hal pertanian, demikian juga dengan kelompok masyarakat nelayan yang memiliki kemampuan dalam bidang perikanan.

Hal ini saya ungkapkan karena ada juga yang menyampaikan bahwa swakelola dapat dilakukan oleh Komite Sekolah, karena komite sekolah merupakan kelompok masyarakat. Nah, selain tidak memenuhi Pasal 26 Ayat 2, kemampuan komite sekolah untuk melaksanakan rehabilitasi sekolah apakah sudah dipastikan? Berapa banyak diantara mereka yang memiliki kemampuan dalam bidang Jasa Konstruksi? Juga apakah mereka memiliki SKA atau SKT dalam bidang Jasa Konstruksi sesuai wewenang Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi?

Berdasarkan paparan di atas, maka pelaksanaan Rehabilitasi Sekolah dengan cara swakelola oleh sekolah penerima hibah/bantuan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Lebih Baik dan Lebih Hemat

Beberapa alasan lain yang digunakan untuk membenarkan pelaksanaan swakelola adalah swakelola lebih baik daripada proses tender, sistem swakelola dapat menghemat anggaran, lebih banyak bangunan yang dapat dibangun dengan menggunakan cara swakelola dibandingkan dengan lelang, dan dapat menciptakan lapangan kerja.

Swakelola lebih baik?

Kata-kata “baik adalah sebuah kata yang amat subjektif karena bergantung cara pandang dan pengalaman seseorang dalam memandang.

Memang benar bahwa di beberapa daerah, sekolah yang dulu dibangun dengan cara swakelola, kualitasnya lebih baik dibandingkan dengan cara lelang/tender. Hal ini karena kepala sekolahnya amat komit terhadap kualitas sehingga sangat mengawasi pelaksanaan pembangunan. Juga orang tua siswa yang ikut membangun, dilandasi dengan semangat bahwa anaknya bersekolah di sekolah tersebut, maka mereka akan mengerjakan dengan baik.

Tetapi tidak bisa dipungkiri juga, beberapa kepala sekolah malah masuk bui alias hotel prodeo alias penjara karena dituduh korupsi dana swakelola pembangunan gedung. Salah satu beritanya dapat dibaca disini.

Juga banyak sekolah yang dibangun dengan mekanisme swakelola, belum lama digunakan malah rubuh. Hal ini dapat dilihat pada pembangunan gedung perpustakaan SD Negeri Pemurus 8 Banjarmasin yang umur bangunannya baru 1 tahun. Contoh lain adalah pembangunan Gedung Laboratorium IPA SMPN 1 Grogol yang rusak padahal umurnya baru 2 (dua) minggu.

Masih banyak contoh-contoh lain yang amat mudah diperoleh hanya dengan melakukan pencarian menggunakan Google.

Ini membuktikan, metode pengadaan, tidak menjamin mutu pekerjaan.

Swakelola lebih hemat?

Sama dengan tulisan “swakelola lebih baik”, hemat adalah sebuah sifat yang bersifat subjektif dan sulit diukur. Bisa saja pada saat pelaksanaan pembangunan gedung sekolah dilakukan penghematan, tetapi baru 1 bulan dipakai malah rubuh, maka sia-sialah pekerjaan yang telah dilakukan.

Yang harus diingat, swakelola dan menggunakan penyedia barang/jasa harus berlandaskan Harga Perhitungan Sendiri (HPS) yang telah disusun. Penghematan dapat dilakukan apabila penyusunan HPS dilakukan secara profesional dan tidak di-mark-up sehingga menguntungkan diri sendiri atau orang lain. HPS juga harus berdasarkan kepada harga pasar setempat dan telah memperhitungkan pajak dan keuntungan yang wajar.

Pajak tidak bergantung kepada proses pengadaan, swakelola dan penyedia barang/jasa tetap harus menghitung PPn sesuai aturan yang berlaku. Jadi tidak benar bahwa kalau swakelola maka tidak dikenakan pajak.

Kalimat “di SDN Kendayakan Kragilan, dengan dana rehabilitasi Rp196 juta untuk tiga lokal dapat menambah satu lokal untuk guru dan untuk sanitasi” juga tidak menunjukkan bahwa swakelola bisa lebih hemat. Hal ini berarti HPS yang ditetapkan sebelumnya masih terlalu tinggi sehingga sebenarnya setelah dilaksanakan dapat menambah satu lokal lagi.

Penciptaan lapangan kerja dengan metode swakelola juga adalah lapangan kerja semu karena yang bekerja bukan merupakan orang-orang yang ahli di bidangnya. Juga kalau dilaksanakan menggunakan metode lelang/tender, tetap dapat menciptakan lapangan kerja.

Jebakan Hukum

Yang saya khawatirkan sebenarnya adalah jebakan hukum dari pelaksanaan swakelola ini, karena dengan pertanyaan sederhana saja, maka Kepala Sekolah penerima bantuan rehabilitasi sudah sulit untuk menjelaskan. Pertanyaan tersebut adalah “sebutkan dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang membolehkan swakelola rehabilitas bangunan sekolah dilaksanakan oleh sekolah itu sendiri.”

Kalau pembaca searching di google, terlihat sebagian besar yang menjadi korban adalah Kepala Sekolah, karena kepala sekolah sebagai Pengguna Anggaran (PA) bertanggung jawab terhadap pelaksanaan swakelola di sekolahnya, sehingga apabila ada gugatan hukum, maka yang terkena secara langsung adalah kepala sekolah itu sendiri dan bukan pemberi bantuan.

Apalagi dalam juklak bantuan sering dituliskan “pengadaan barang/jasa dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan,” sehingga apabila pemberi bantuan ditanya maka bisa menjawab dengan jawaban “diplomatis” bahwa pada juknis sudah ditetapkan tetapi kepala sekolah sendiri yang tidak melaksanakan.

Selain itu, jangan sampai pemberian bantuan ini merupakan cara untuk mempercepat “daya serap anggaran” tanpa memperhitungkan konsekwensi hukum yang akan diterima oleh penerima bantuan pada masa yang akan datang.

Apabila Bapak Menteri bersikeras bahwa sekolah dapat melaksanakan swakelola untuk rehabilitasi, maka silakan mengusulkan aturan khusus kepada Presiden agar diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang spesifik mengatur mengenai pembangunan atau rehabilitasi sekolah.

Hal tersebut bukan tidak mungkin, dibuktikan dengan telah dikeluarkannya Perpres Nomor 59 Tahun 2011 yang mengatur mengenai penunjukan langsung pengadaan barang/jasa untuk kegiatan Sea Games ke XVI di Palembang.

Jalan Keluar

Pertanyaan berikutnya setelah pembahasan di atas adalah ” Bagaimana apabila sekolah telah terlanjur menerima dana untuk rehabilitasi dan diperintahkan melaksanakan melalui metode Swakelola?”

Menafikan pelanggaran pasal 26 Ayat 2 Perpres 54/2010, maka kita dapat menganggap swakelola tersebut adalah swakelola yang dilaksanakan oleh K/L/D/I penanggung jawab anggaran, sehingga dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 27 ayat 1 dan 2 serta Pasal 29 Perpres 54/2010.

Hal-hal yang wajib diperhatikan adalah:
  1.  Jumlah tenaga dari luar sekolah (termasuk tukang, pengawas, dll) tidak boleh melewati 50% dari jumlah keseluruhan pegawai sekolah yang terlibat dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini karena tujuan utama swakelola adalah menggunakan tenaga yang dimiliki sendiri dan tidak sekedar menjadi broker pekerjaan dan selanjutnya dikerjakan oleh pengusaha secara total. Hal ini tertuang pada ketentuan Pasal 27 Ayat 2 Perpres 54/2010
  2. Pengadaan bahan/barang, Jasa Lainnya, peralatan/suku cadang dan tenaga ahli dilakukan oleh ULP/Pejabat Pengadaan dan dilaksanakan menggunakan metode pengadaan barang/jasa sesuai Perpres 54/2010. Hal ini berarti apabila bahan bangunan yang apabila dijumlahkan nilainya melebihi 100 juta, tetap wajib dilelangkan oleh Kepala Sekolah, tidak boleh hanya dibeli langsung ke toko. Apabila nilainya dibawah 100 juta, maka menggunakan metode pengadaan langsung dan memperhatikan bukti-bukti pembayaran sesuai Pasal 55 Perpres 54/2010 dan menggunakan Standard Bidding Document (SBD) Pengadaan Langsung yang dikeluarkan oleh LKPP.
  3. Hal ini juga berlaku untuk tenaga ahli dan tenaga terampil yang digunakan, tetap harus memperhatikan ketentuan tenaga ahli dan terampil berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam bidang Jasa Konstruksi, yaitu UU Nomor 18/1999 dan peaturan turunannya, termasuk Peraturan Menteri PU (PermenPU) Nomor 7 Tahun 2011. Salah satunya adalah tenaga ahli dan terampil wajib memiliki sertitikat keahlian atau keterampilan yang dikeluarkan oleh LPJK.
  4. Kepala sekolah tetap wajib membentuk 3 tim, yaitu tim perencana, pelaksana dan pengawas untuk melaksanakan pekerjaan sesuai tahapan dan bidang tugas yang telah diuraikan pada Lampiran VI Perpres 54/2010.
Semoga amanah yang diberikan dapat dilaksanakan dan tidak menjadi sebuah jebakan hukum yang akan menjerat beberapa tahun yang akan datang.

Swakelola atau Penyedia?

Salah satu pertanyaan yang sering diajukan kepada penulis adalah “pak, sekarang anggaran sudah ada, ini pelaksanaannya pakai swakelola atau pihak ketiga pak?”

Terus terang, menghadapi pertanyaan seperti ini, penulis jadi bingung sendiri dan bertanya kembali “memangnya waktu nyusun rencana umum pengadaan tidak ditetapkan cara pengadaannya terlebih dahulu?”

Dan biasanya jawabannya adalah “tidak.”

Inilah potret kemampuan Pengguna Anggaran dalam menyusun rencana umum pengadaan barang/jasa pemerintah. Semua dilakukan tanpa pemahaman yang mendalam sehingga akhirnya bingung sendiri pada saat pelaksanaan pekerjaan.

Sebelum terlalu dalam, penulis juga mengkritisi istilah “pihak ketiga” yang sering digunakan untuk menggambarkan penyedia barang/jasa. Hal ini karena dalam pelaksanaan pekerjaan, yang mengikat perjanjian hanyalah 2 pihak, yaitu pihak K/L/D/I dan pihak penyedia barang/jasa. Jadi siapa yang dimaksud pihak ketiga? Jangan-jangan kena istilah, “apabila ada 2 orang yang bukan muhrimnya berdua-duaan, maka pihak ketiga adalah…. (isi sendiri titik-titiknya)”

Berdasarkan Pasal 22 dan Penjelasan Pasal 22 Ayat 3 Huruf c angka 3, salah satu tugas Pengguna Anggaran (PA) adalah menetapkan cara pengadaan barang/jasa, apakah akan menggunakan swakelola atau melalui penyedia barang/jasa. Penetapan ini merupakan bagian dari rencana umum pengadaan yang disusun sebelum penyusunan dokumen anggaran. Hal ini karena Pengguna Anggaran berdasarkan identifikasi kebutuhan yang telah dilakukan seharusnya juga memahami kekuatan sumber daya yang dimiliki untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa.




Apa itu swakelola?

Swakelola merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/D/I sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain, dan/atau kelompok masyarakat.

Dari pengertian ini terlihat bahwa swakelola bersifat mandiri dan dikerjakan oleh diri sendiri, bukan melalui penyedia. Jadi, apabila tetap menggunakan penyedia barang/jasa, misalnya toko, kontraktor, konsultan, tenaga ahli dari swasta, PT, CV, dan lain-lain, maka itu bukanlah swakelola.

Swakelola bukan berarti dikelola sendiri. Bukan berarti diberikan uang, kemudian beli sendiri ke toko. Karena kalau sudah membeli ke toko, artinya sudah menggunakan penyedia, dimana toko inilah yang menjadi penyedianya.
Dibawah ini adalah kasus yang sering terjadi:
Sebuah sekolah, diberikan bantuan dana dari APBN atau APBD untuk pengadaan meubelair sejumlah Rp. 300 Juta. Dalam petunjuk teknis (juknis) disebutkan bahwa pengadaannya dilaksanakan dengan cara “swakelola” sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Karena melihat juknis ini, maka Kepala Sekolah segera mencairkan anggaran yang telah diterima melalui rekening sekolah, kemudian mendatangi toko meubelair terdekat dari beberapa toko yang ada, kemudian membelanjakan semua uang tersebut untuk membeli meubelair untuk sekolahnya. Ini dengan alasan bahwa yang namanya swakelola adalah “dikelola sendiri.”
Pemahaman ini adalah pemahaman yang tidak benar. Kalau sudah membutuhkan penyedia, itu berarti sudah bukan swakelola lagi, dan pemilihan penyedianya harus menggunakan metode pemilihan penyedia. Beberapa metode pemilihan penyedia adalah pelelangan umum, pelelangan sederhana atau pemilihan langsung.

Mengapa Swakelola yang dipilih?

Pelaksanaan pengadaan dapat dilakukan secara swakelola apabila memenuhi salah satu dari kondisi yang tertuang dalam Pasal 26 Ayat 2 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya berikut ini:
  1. pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan/atau memanfaatkan kemampuan teknis sumber daya manusia, serta sesuai dengan tugas dan fungsi K/L/D/I;
  2. pekerjaan yang operasi dan pemeliharaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat setempat atau dikelola oleh K/L/D/I. Yang dimaksud dengan partisipasi langsung masyarakat setempat antara lain pekerjaan pemeliharaan saluran irigasi tersier, pemeliharaan hutan/tanah ulayat, atau pemeliharaan saluran/jalan desa;
  3. pekerjaan yang dilihat dari segi besaran, sifat, lokasi atau pembiayaannya tidak diminati oleh Penyedia Barang/Jasa, misalnya pelaksanaan pengadaan di daerah konflik;
  4. pekerjaan yang secara rinci/detail tidak dapat dihitung/ ditentukan terlebih dahulu, sehingga apabila dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa akan menimbulkan ketidakpastian dan risiko yang besar;
  5. penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan;
  6. pekerjaan untuk proyek percontohan (pilot project) dan survei yang bersifat khusus untuk pengembangan teknologi/ metode kerja yang belum dapat dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa;
  7. pekerjaan survei, pemrosesan data (misalnya sensus dan statistik), perumusan kebijakan pemerintah, pengujian di laboratorium dan pengembangan sistem tertentu;
  8. pekerjaan yang bersifat rahasia bagi K/L/D/I yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat rahasia adalah pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan negara yang tidak boleh diketahui dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak berhak, antara lain pembuatan soal-soal ujian negara. Disini dilihat bahwa yang bersifat rahasia adalah pembuatan soalnya, bukan pencetakannya.
Yang perlu diingat, bahwa walaupun kondisi tersebut terpenuhi, artinya pelaksanaan pengadaan dapat dilakukan dengan cara swakelola, di dalamnya bisa saja terdapat penyedia barang/jasa.

Misalnya, dalam pelaksanaan penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan, seluruh kegiatan memang dilaksanakan secara swakelola. Panitia berasal dari K/L/D/I sendiri, perencanaan dilaksanakan sendiri, juga pengawasan dilaksanakan sendiri. Namun, apabila membutuhkan jasa katering, dimana katering tersebut disediakan oleh perusahaan makanan, maka hal ini tetap menggunakan penyedia, dan untuk memilihnya wajib menggunakan metode pemilihan penyedia yang sesuai. Artinya, apabila pelaksanaan lokakarya membutuhkan katering yang bernilai di atas 200 Juta, maka tetap dilakukan pelelangan. Apabila dilaksanakan di hotel, maka dapat dilakukan penunjukan langsung dengan tata cara yang sesuai dengan aturan pengadaan barang/jasa.

Kapan Penetapan Swakelola atau Penyedia dilakukan?
Pemilihan metode pengadaan dilakukan pada saat penyusunan rencana umum pengadaan dan dilaksanakan sebelum penyusunan anggaran. Metode ini sudah harus tertuang dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau Term of Reference (TOR) yang disusun sebagai persyaratan untuk penyusunan anggaran.

Hal ini karena konsekwensi dari metode tersebut berujung kepada struktur anggaran yang akan dimasukkan dalam rencana kerja dan anggaran tahun berikutnya.

Misalnya, apabila pelaksanaan lokakarya akan dilakukan dengan cara swakelola, maka dalam KAK dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) sudah harus diuraikan tugas dan fungsi masing-masing pihak yang akan terlibat. Kemudian RAB ini dimasukkan sebagai bagian dari dokumen anggaran. Dalam dokumen aanggaran juga sudah terurai komponen akomodasi dan konsumsi, honorarium panitia, narasumber, Alat Tulis Kantor (ATK), dan berbagai pernak-pernik lainnya. Namun apabila hendak menggunakan penyedia, maka dalam RAB walaupun diuraikan secara detail, namun dalam dokumen anggaran hanya dimasukkan dalam 1 mata anggaran secara gelondongan. Rincian RAB akan berubah menjadi rincian HPS yang sifatnay rahasia, sedangkan total RAB menjadi total anggaran yang masih harus disusun HPS-nya dan kemudian dilakukan pemilihan terhadap penyedia menggunakan metode pemilihan yang sesuai (Pelelangan, Penunjukan Langsung, atau Pengadaan Langsung).

Dalam Aplikasi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) yang dikembangkan oleh LKPP juga sudah membagi metode pengadaan sejak awal, sehingga tidak ada lagi pertanyaan setelah dokumen anggaran diterima, “ini dilaksanakan dengan cara swakelola atau penyedia yah?”

Siapa saja pelaksana swakelola?

Berdasarkan Pasal 26 Ayat 1 Perpres Normo 54 Tahun 2010 dan perubahannya, pelaksana swakelola ada 3, yaitu K/L/D/I penanggung jawab anggaran, Instansi Pemerintah lain, dan Kelompok Masyarakat.

Apabila pelaksana swakelola adalah K/L/D/I penanggung jawab anggaran, maka perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dilakukan sendiri oleh K/L/D/I tersebut. Contohnya, pengangkutan sampah dilakukan oleh Dinas Kebersihan, atau lokakarya yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Namun seperti yang disampaikan pada tulisan di atas, apabila dalam pelaksanaan kegiatan membutuhkan penyedia, maka metode pemilihan penyedia sesuai Perpres juga tetap harus dilaksanakan.

Pelaksana kedua adalah instansi pemerintah lain. Yang perlu digarisbawahi adalah, pelaksana wajib berupa instansi pemerintah, bukan swasta dan bukan juga instansi yang “mengaku-ngaku pemerintah.” Contoh instansi pemerintah adalah Perguruan Tinggi Negeri, Lembaga Negara, atau Institusi Pemerintah seperti BPPT, Bakosurtanal, dan lain-lain.

Apabila pengadaan dilaksanakan oleh instansi pemerintah, maka anggaran biaya yang digunakan harus tunduk kepada acuan pemerintah juga. Misalnya untuk honorarium, maka harus tunduk kepada aturan Kementerian Keuangan mengenai standar biaya masukan atau acuan dari instansi terkait. Konsultan yang berasal dari Perguruan Tinggi, harus mau dibayar menggunakan acuan tersebut, tidak bisa menggunakan acuan konsultan swasta. Apabila hendak dibayar senilai konsultan swasta, maka harus cuti di luar tanggungan negara terlebih dahulu kemudian terjun secara penuh melaksanakan pekerjaan konsultan.

Dalam penyusunan KAK dan Anggaran, Pengguna Anggaran (PA) dapat langsung menetapkan instansi pemerintah yang menjadi target dan sasaran kerjasama. Hal ini didahului dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) terlebih dahulu sebagai landasan legal kerjasama. Sehingga nama instansi pemerintah pelaksana swakelola dapat dimunculkan dalam dokumen anggaran.

Hal ini mencegah kebingungan tentang instansi mana yang dapat diajak kerjasama saat anggaran telah tersedia? Semua sudah harus direncanakan dan dipersiapkan sebelumnya.

Demikian juga dengan pelaksana swakelola yang berasal dari kelompok masyarakat. Target kelompok masyarakat pelaksana swakelola sudah harus dipersiapkan sebelumnya dan harus dipastikan bahwa kolompok masyarakat tersebut mampu melaksanakan pekerjaan. Jangan sampai kelompok nelayan yang tidak memiliki pengetahuan mengenai konstruksi, diminta untuk membangun dermaga ber-tiang pancang.

Intinya adalah, seluruh target pelaksana sudah harus dituangkan dalam perencanaan, bukan “tiba masa tiba akal.”

Bagaimana cara memilih pelaksana pengadaan?

Tahapan awal yang harus dilaksanakan untuk memilih pelaksana pengadaan adalah dengan memetakan antara identifikasi kebutuhan dengan kemampuan K/L/D/I dalam melaksanakan pengadaan tersebut.

Misalnya, dalam identifikasi kebutuhan ditemukan kegiatan untuk pelaksanaan pengadaan komputer, maka yang pertama dipetakan adalah, apakah pengadaan tersebut memenuhi kriteria Pasal 26 Ayat 2 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya yang sudah dijelaskan diatas? Apabila iya, maka dilaksanakan dengan cara swakelola. Apabila tidak , maka dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa. Apabila dilaksanakan dengan cara swakelola, maka harus dipetakan lagi siapa yang akan melaksanakan, apakah K/L/D/I penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain, atau kelompok masyarakat.

Tahapan berikutnya adalah memetakan komponen kegiatan dan biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan pengadaan sesuai dengan pelaksana pengadaan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dalam penyusunan anggaran, apabila pelaksanaan pengadaan dilakukan secara swakelola, maka mata anggaran serta jenis kegiatan dapat diuraikan secara rinci. Sedangkan apabila dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa, maka mata anggaran dapat digabungkan menjadi satu. Perincian dapat dilakukan apabila memang jenis barangnya membutuhkan perincian berdasarkan aturan keuangan.

Akhir kata, jangan memilih swakelola atau penyedia setelah dokumen anggaran ditetapkan, tetapi pilihlah pada saat perencanaan pengadaan.


Seputar Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa

Pertanyaan :

Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa

Saat ini (2010) berlaku dua peraturan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah, yaitu Keppres No. 80/2003 dan Perpres No. 54/2010 di mana Keppres akan tidak berlaku lagi. Pertanyaan saya;
1. Adakah perbedaan konsekuensi antara Keppres dengan Perpres, sehingga peraturan yang baru harus dituangkan dalam bentuk Perpres?
2. Adakah perbedaan atau perubahan penting yang signifikan dan mendasar dalam kedua peraturan ini? Kalau ada, apa saja?

Jawaban :

1.       Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU No. 10/2004”), peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Presiden adalah berupa Peraturan Presiden (lihat pasal 1 angka 6 UU No. 10/2004). Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Karena sifatnya yang mengikat secara umum, maka bentuk yang dipakai adalah Peraturan Presiden, bukan Keputusan Presiden.

Perubahan dari bentuk Keputusan Presiden kepada Peraturan Presiden ini juga terkait dengan sifat kaedah hukum keputusan dan peraturan. Suatu keputusan (beschikking), adalah bersifat individual/konkrit. Keberlakuannya ditujukan pada orang-orang atau pihak tertentu saja, dan penerapannya tergantung kasus per kasus. Sedangkan peraturan (regeling), bersifat umum/abstrak. Keberlakuannya ditujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah umum. Oleh karena materi yang diatur dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bersifat umum, maka sudah seharusnya bentuk yang dipakai adalah Peraturan, bukan Keputusan. Perubahan-perubahan terhadap Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (“Keppres No. 80/2003”) juga telah dilakukan dengan Perpres (terakhir dengan Perpres No. 95 Tahun 2007).
Penting untuk dicatat bahwa Perpres No. 54/2010 merupakan aturan yang akan menggantikan Keppres No. 80/2003. Dalam pasal 135 Perpres No. 54/2010 dinyatakan bahwa Keppres No. 80/2003 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Perpres No. 95 Tahun 2007, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Januari 2011. Jadi, sebelum 1 Januari 2011 Keppres No. 80/2003 serta perubahannya masih berlaku.
2.       Perubahan yang signifikan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur dalam Perpres No. 54/2010 di antaranya:
Hal
Keppres No. 80/2003
Perpres No. 54/2010
Waktu Pelelangan/Seleksi
Tidak menjelaskan dengan tegas kapan pelelangan/seleksi boleh dilaksanakan. Proses pengadaan dapat dilakukan sebelum dokumen anggaran disahkan
Pelelangan/Seleksi hanya boleh dilaksanakan setelah Rencana Kerja Anggaran (RKA) disetujui oleh DPR/DPRD (pasal 73 ayat [1] huruf a)
Pengadaan Barang melalui penunjukan langsung
Pengadaan mobil, motor dan kendaraan bermotor lainnya bukan termasuk pengadaan barang yang dapat dilaksanakan dengan Penunjukan Langsung
Pengadaan mobil, motor dan kendaraan bermotor lainnya dapat dilaksanakan dengan Penunjukan Langsung (pasal 38 ayat [5] huruf e)
Persyaratan Jaminan Pengadaan Barang/Jasa
Tidak diatur
Penyedia Barang/Jasa menyerahkan Jaminan kepada Pengguna Barang/Jasa untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dipersyaratkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak Pengadaan Barang/Jasa harus dapat dicairkan tanpa syarat (unconditional) sebesar nilai Jaminan dalam waktu paling lambat 14 hari kerja (pasal 67)
Demikian penjelasan singkat kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
2.      Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Dasar Hukum CV Diatur Dalam KUHD

Dasar hukum pendirian CV diatur dalam KUHD, khususnya pasal 19 s/d 21 yang mengatur tentang Persekutuan Komanditer. Tentu juga tidak lupa KUHPerdata, sebagaimana konsep awalnya merupakan Persekutuan atas dasar Perjanjian.

Berikut ini kutipan pasal 19 s/d pasal 21

Pasal 19

Perseroan yang terbentuk dengan cara meminjamkan uang atau disebut juga perseroan komanditer, didirikan antara seseorang atau antara beberapa orang persero yang bertanggung jawab secara tanggung-renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang atau lebih sebagai pemberi pinjaman uang.
Suatu perseroan dapat sekaligus berwujud perseroan firma terhadap persero-persero firma di dalamnya dan perseroan komanditer terhadap pemberi pinjaman uang. (KUHD. 16, 20, 22 dst.)

Pasal 20

Dengan tidak mengurangi kekecualian yang terdapat dalam pasal 30 alinea kedua, maka nama persero komanditer tidak boleh digunakan dalam firma. (KUHD 19-21.)
Persero ini tidak boleh melakukan tindakan pengurusan atau bekerja dalam perusahaan perseroan tersebut, biar berdasarkan pemberian kuasa sekalipun. (KUHD 17, 21, 32.)

Ia tidak ikut memikul kerugian lebih daripada jumlah uang yang telah dimasukkannya dalam perseroan atau yang harus dimasukkannya, tanpa diwajibkan untuk mengembalikan keuntungan yang telah dinikmatinya. (KUHPerd. 1642 dst.)

Pasal 21

Persero komanditer yang melanggar ketentuan-ketentuan alinea pertama atau alinea kedua dari pasal yang lain, bertanggung jawab secara tanggung renteng untuk seluruhnya terhadap semua utang dan perikatan perseroan itu. (KUHD 18.)

Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya


1.                 Apabila yang dimaksud dengan status usaha yaitu jenis badan usaha, maka pada dasarnya untuk mengubah suatu jenis badan usaha bergantung pada visi misi dan tujuan dari badan usaha tersebut. Dalam hal ini apabila Perusahaan Dagang/Usaha Dagang ("PD/UD") saat ini berjalan sesuai dengan kegiatan usahanya, maka PD/UD tersebut tidak perlu untuk "diubah" menjadi badan usaha lainnya.
Namun, apabila dalam perkembangannya PD/UD memiliki visi misi dan tujuan untuk memperluas kegiatan PD/UD dan/atau diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan, maka jenis PD/UD tersebut dapat "diubah" dengan membentuk badan usaha baru.
Adapun berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu, suatu badan usaha diwajibkan berbentuk badan hukum dalam hal menjalakan kegiatan usaha seperti Bank, Rumah Sakit, penyelenggara satuan pendidikan formal. Selain itu, apabila terdapat penyertaan modal asing dalam badan usaha tersebut, maka badan usaha tersebut wajib untuk berbentuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas. Sehingga apabila dalam perkembangannya PD/UD akan melakukan kegiatan usaha sebagaimana disebutkan sebelumnya dan/atau terdapat penyertaan modal asing dalam badan usahanya, maka PD/UD tersebut wajib untuk berbentuk badan hukum.
Untuk mengetahui badan usaha yang tepat untuk PD/UD tersebut, berikut kami uraikan karakteristik untuk beberapa badan usaha baik yang merupakan badan hukum atau bukan badan hukum.
A.     Badan Usaha berbentuk Badan Hukum
Karakteristik suatu badan hukum yaitu terdapat pemisahan kekayaan pemilik dengan kekayaan badan usaha, sehingga pemilik hanya bertanggung jawab sebatas harta yang dimilikinya.
Badan Usaha yang berbentuk Badan Hukum terdiri dari :
(1)     Perseroan Terbatas (“PT”)
§      Memiliki ketentuan minimal modal dasar, dalam UU 40/2007 minimum modal dasar PT yaitu Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Minimal 25% dari modal dasar telah disetorkan ke dalam PT;
§      Pemegang Saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya;
§      Berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu diwajibkan agar suatu badan usaha berbentuk PT.
(2)     Yayasan
§      Bergerak di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota;
§      Kekayaan Yayasan dipisahkan dengan kekayaan pendiri yayasan.
(3)     Koperasi
§      beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas asas kekeluargaan.
§      Sifat keanggotaan koperasi yaitu sukarela bahwa tidak ada paksaan untuk menjadi anggota koperasi dan terbuka bahwa tidak ada pengecualian untuk menjadi anggota koperasi.
B.       Badan Usaha bukan berbentuk Badan Hukum
Lain halnya dengan badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum, pada bentuk badan usaha ini, tidak terdapat pemisahan antara kekayaan badan usaha dengan kekayaan pemiliknya.
Badan usaha bukan berbentuk badan hukum terdiri dari:
(1)     Persekutuan Perdata
§      Suatu perjanjian di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya;
§      Para sekutu bertanggung jawab secara pribadi atas Persekutuan Perdata.
(2)     Firma
§      Suatu Perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di bawah nama bersama;
§      Para anggota memiliki tanggung jawab renteng terhadap Firma.
(3)     Persekutuan Komanditer (“CV”)
§      Terdiri dari Pesero Aktif dan Pesero Pasif/komanditer.
§      Pesero Aktif bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi, sedangkan pesero pasif hanya bertanggung jawab sebesar modal yang telah disetorkan ke dalam CV. 
Apabila PD/UD akan "diubah" dengan badan usaha lainnya, maka PD/UD tersebut akan dibubarkan serta izin yang dimiliki oleh PD/UD tersebut akan dicabut. Selanjutnya, akan didirikan badan usaha yang sesuai dengan karakteristik dan visi misi yang diinginkan.
2.                 Perjanjian Kerja
Apabila yang dimaksud dengan pertanyaan Anda terkait perjanjian tenaga kerja dengan pengusaha adalah perjanjian tertulis, maka pengusaha yang melakukan perjanjian secara lisan dengan tenaga kerja yang diperkerjakannya sudah merupakan Perjanjian yang memiliki akibat hukum, hal ini berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU No. 13/2003 yang menyatakan bahwa “Perjanjian Kerja dibuat secara tertulis atau lisan”.
Tanpa adanya perjanjian, maka tidak adanya kesepakatan untuk melakukan hubungan kerja antara pengusaha dan tenaga kerja baik lisan maupun tertulis. Hal ini diatur dalam Pasal 50 UU No. 13/2003 yang menyatakan “hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”.
Agar Perjanjian yang terjadi antara pengusaha dengan tenaga kerja dapat sah secara hukum, maka perjanjian yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai Pasal 1320 KUHPer yaitu:
1.       Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.       Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.       Suatu hal tertentu; dan
4.      Suatu sebab yang halal
Sehingga, perjanjian baik secara tertulis maupun lisan antara pengusaha dengan tenaga kerja yang diperkerjakannya tetap memiliki hubungan hukum diantara mereka selama perjanjian tersebut sah secara hukum dengan mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian.
3.                 Kewajiban membentuk Peraturan Perusahaan
Berdasarkan Pasal 108 ayat (1) UU 13/2003, diatur bahwa setiap Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Adapun yang dimaksud dengan Pengusaha berdasarkan Pasal 1 angka 5 huruf a UU 13/2003 adalah;
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
Dari kedua ketentuan pasal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Perusahaan (termasuk PD/UD) harus memiliki peraturan perusahaan jika mempekerjakan pekerja/buruh sejumlah 10 (sepuluh) orang atau lebih.
4.                 Hak-Hak Pekerja
Berdasarkan UU 13/2003, hak-hak pekerja yang diatur yaitu sebagai berikut :
1)     Memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja (Pasal 11);
2)     Memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja (Pasal 18 ayat 1);
3)     Memperoleh waktu istirahat dan cuti dengan ketentuan sebagai berikut (Pasal 79):
-         istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
-         istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
-         cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
-         istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.        
4)     Memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat 1);
5)     Memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 1);
6)     Memperoleh jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 99 ayat 1);
7)     Membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 104 ayat 1);
8)     Melakukan mogok kerja sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137);
9)     Menerima pembayaran uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja jika terjadi pemutusan hubungan kerja (Pasal 156 ayat 1);
10)Hak khusus untuk pekerja/buruh perempuan (Pasal 82):
-         Memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan;
-         Memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan jika mengalami keguguran kandungan sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Demikian jawaban yang dapat kami berikan. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23).
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43).
4.      Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004

Cara Menaksir Harga Rumah Berdasarkan NJOP

Harga rumah di Jakarta bisa dikatakan tidak murah lagi. Bahkan, rumah petakan yang ukurannya kecil dijual dengan harga ratusan juta ru...