Dalam Preambule (Pembukaan) UUD 1945 ditegaskan bahwa " ... Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan ...
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan\/Perwakilan ... ". Hal ini jelas memberikan penegasan
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat.
Berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
Oleh karena itu sistem negara yang terbentuk dalam UUD harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 di atas juga bermakna bahwa rakyat adalah pemegang Kedaulatan tertinggi di republik ini. Artinya, setiap individu rakyat Indonesia adalah pemegang kedaulatan dan\/ atau kalau boleh dikatakan adalah para "pemegang saham" Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks kedaulatan rakyat di atas penting bagi kita untuk memahami kembali apa itu istilah "rakyat". Karena ada dua maknanya yang signifikan berbeda, yang mungkin baik untuk kita bedakan secara tipografis. Apabila kita bicara tentang kedaulatan rakyat kita harus mengetahui apakah kita berbicara tentang Rakyat sebagai pemilih dan diplih. Atau mengenai Rakyat sebagai "pemegang kedaulatan" yang terdiri dari seluruh penduduk yang ada. Termasuk nenek moyang dan anak cucu mereka.
Hal ini semakin penting untuk dipahami sehubungan fakta adanya kecenderungan umum perilaku politisi Indonesia yang seenaknya mengatasnamakan "rakyat" dalam setiap aktivitas politiknya. Bahkan kini banyak partai baru yang bermunculan dengan nama yang diembel-embeli dengan kata "rakyat".
Acap kali diasumsikan tetapi tanpa bukti bahwa pendapat rakyat sebagai pemilih dan yang dipilih dapat diperlakukan sebagai pernyataan dari kepentingan rakyat sebagai suatu masyarakat bangsa. Masalah krusial dari demokrasi modern timbul dari kenyataan bahwa asumsi ini jelas. Para pemilih dan yang dipilih tidak dapat begitu saja dianggap sebagai mewakili Rakyat.
Mengapa? Karena para pemilih dan yang dipilih tidak pernah sama dengan seluruh penduduk. Bahkan seluruh penduduk dewasa yang hidup. Perbedaan antara Rakyat sebagai pemilih\/ dipilih dan Rakyat sebagai warga bangsa pemegang Kedaulatan. Maka para pemilih dan yang dipilih itu tidak dapat mengklaim bahwa kepentingan mereka adalah sama dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Kemajemukan para pemilih dan yang dipilih itu bukanlah Rakyat. Klaim bahwa mereka itu memang demikian adanya adalah suatu pernyataan hak yang palsu untuk membenarkan perampasan kedaulatan rakyat oleh para politisi. Dalam kenyataannya para politisi ini dapat digambarkan sebagai pesulap di mana sejumlah kecil orang diberikan wewenang Rakyat. Itulah sebabnya kenapa demikian banyak tindakan kriminal yang dilakukan atas nama rakyat di Republik ini. Banyak contoh jika dikemukakan di sini.
Dengan demikian jelas bahwa yang dinamakan rakyat itu bukan saja kumpulan dari semua orang yang hidup yang memilih dan yang dipilih. Rakyat itu juga adalah orang-orang. Generasi-generasi yang saling berhubungan meski orangnya berubah-ubah.
Bukan saja antara mereka yang hidup akan tetapi juga dengan mereka yang telah meninggal dan mereka yang akan dilahirkan. Rakyat itu adalah suatu korporasi, suatu entitas, yang dapat dikatakan terus hidup meskipun individunya masuk dan keluar. Bahkan walaupun tanpa pemimpin.
Apabila kita tinjau dari sudut orang perorang secara individu maka apa yang disebut rakyat itu untuk sebagian besarnya tidak dapat diraba dan tidak dapat didengar. Memang sebagai keseluruhan rakyat itu tidak ada, dalam pengertian bahwa banyak dari mereka yang telah meninggal dan demikian banyak pula yang belum dilahirkan.
Namun, makhluk yang disebut rakyat, meski tidak dapat dirasakan oleh indra kita, tetapi secara emosional mengikat orang kepada tanah airnya dengan "ikatan yang meskipun cair seperti air, namun sama kuatnya dengan ikatan besi baja".
Inilah sebabnya para pemuda rela mati di medan laga demi membela tanah air, dan inilah yang menyebabkan orang-orang tua kita menanam pohon yang mereka tidak akan pernah duduk di bawah kerindangannya kelak di suatu hari.
Rakyat yang tidak terlihat, tidak terdengar, dan bahkan tidak ada ini, memberikan makna rasional kepada tujuan-tujuan pemerintah (baca: negara) yang penting. Jika kita membantahnya, dengan mengindentifikasikan rakyat dengan banyak orang yang memberikan suara dalam pemilihan umum. Maka ini dapat berbahaya bagi masa depan Negara Republik Indonesia yang mempunyai cita-cita sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Sebab, tanpa ikatan dengan masa depan ini, mereka rakyat tidak akan dapat hidup dan bekerja, tanpa ikatan-ikatan ini jaringan masyarakat akan terurai dan terpecah-belah. Jadi telah jelas bahwa rakyat tidak indentik dengan pemilih dan yang terpilih. Hal ini penting untuk tidak mengatasnamakan rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Perlu dipahami lebih dalam bahwa terdapat tiga unsur fundamental yang tidak boleh lepas dari filosofi dasarnya dalam logika hubungan ketiga unsur pokok dalam pembukaan UUD 1945 yang dikemukan diatas, yaitu: Negara - Daulat Rakyat dan Permusyawaratan\/Perwakilan.
Dalam hal negara adalah menjelaskan wujud simbolik manifestasi dari daulat rakyat Daulat rakyat adalah kumpulan manusia individu berdaulat yang meletakkan kedaulatannya dalam bentuk negara namun daulat manusia individu adalah alami. Melekat pada diri dan alamnya sebagaimana kehadirannya di dunia ada atau tiadanya suatu negara. Jadi, daulat manusia bukan karena negara.
Jadi, negara adalah merupakan suatu keberadaan yang berasal dari kumpulan daulat rakyat yang dalam realitanya adalah terwujud menjadi bagian-bagian atau organ-organ kelembagaaan negara. Sedangkan permusyawaratan perwakilan adalah menunjukkan adanya keberagaman manusia berdaulat karena kata musyawarah memastikan bahwa manusianya tidak satu.
Karena individu manusia berdaulat itu tidak satu tetapi dapat seribu, sejuta, sampai miliar untuk suatu negara. Maka hal yang mustahil dapat duduk di satu meja membicakan keinginan-keinginan mereka. Karenanya timbul kata perwakilan dalam konteks politik riil dalam kehidupan bernegara.
Perwakilan inilah yang dilembagakan yang isinya dapat terdiri dari kelompok-kelompok manusia yang terpolarisasi ke dalam lembaga-lembaga partai politik yang ada dalam suatu negara yang di dalamnya melekat atau dilekatkan wewenang atau kekuasaan dari peletakan atau penyerahan sebagian kedaulatan rakyat itu.
Pertarungan perebutan kekuasaan yang terdapat di dalam lembaga negara itu dilakukan oleh partai-partai politik. Namun, haruslah selalu diingat dan jangan pernah dilupakan bahwa pada dasarnya rakyat berdaulat itu adalah komunitas yang berbeda eksistensinya dengan lembaga-lembaga negara atau perwakilan, karena adanya lembaga-lembaga negara atau keterwakilan mutlak adalah berasal dari daulat rakyat. Namun, keberadaan daulat rakyat tidak karena adanya kelembagaan itu atau keterwakilan itu. Karena daulat rakyat itu melekat atau inheren dengan alam dan kekayaan alamnya.
Berarti rakyat berdaulat itu pemilik alam dan kekayaan alam itu. Manusia berdaulat itulah sebagai yang mutlak memilih hak atas segala sesuatunya yang berkaitan dengan alam dan kekayaan alamnya. Inilah yang menjadi dasar kedaulatan itu. Karenanya yang namanya rakyat mutlak memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat dihilangkan.
Dari uraian di atas jelaslah sudah. Apa pun namanya lembaga representasi daulat rakyat suatu negara tidak dapatlah lupa atau lepas, atau semena-semena terhadap hak-hak dasar itu.
Berangkat dari logika ini, maka betapa pun penguasa lembaga-lembaga itu bekerja dalam titipan wewenang yang dilekatkan padanya suatu kekuasaan yang jelas merupakan terbatas hanya pada wewenang dan kekuasaan di luar hak-hak dasar itu. Karenanya hak-hak dasar rakyat itu tidak dapat diganggu gugat.
Sekarang sampailah kita membicarakan apa hak-hak dasar itu. Hak-hak dasar adalah tergantung dari rakyat berdaulat itu sejauh mana dan dalam bentuk apa itu seharusnya ada.
Jika salah satu yang disepakati rakyat berdaulat adalah hak dasar rakyat berdaulat untuk tidak ada yang lapar atau kurang beras walau hanya sehari. Maka kewajiban dari penguasa yang memegang titipan wewenang yang bekerja untuk dan atas nama rakyat berdaulat itu adalah memenuhi kebutuhan itu.
Jika hak-hak dasar rakyat itu adalah hak untuk mendapatkan santunan bagi para penganggur yang mana merupakan kewajiban orang-orang yang dibayar rakyat (penyelenggara negara) untuk bekerja menciptakan lapangan kerja bagi rakyat berdaulat tak mampu melaksanakan tugasnya menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat berdaulat maka kewajibannya memberi santunan pada rakyat berdaulat itu sebagai konsekwensi ketidakmampuannya menciptakan lapangan pekerjaan adalah suatu keharusan.
Atas dasar pemahaman filosofi yang telah diuraikan di atas maka jelaslah bahwa rakyat berdaulat pemegang kuasa penuh dari alam beserta isi kekayaannya dan walaupun sebagian kedaulatannya diserahkan pada lembaga pengurus negara yang dilekatkan kewenangan atau kekuasaan bukanlah yang bersifat absolut. Sehingga negara menjadi selera para pekerja negara tersebut yang kebetulan terpilih untuk duduk pada posisi-posisi dari organ kerja tersebut. Tetapi, merupakan amanah yang harus mereka jalankan untuk kepentingan pemberi kuasa yaitu rakyat berdaulat.
Karenanya eksistensi rakyat dalam kaitan hak dasarnya tidak tergantung dari adanya suatu pemerintahan terpilih karena hubungan antara penguasa dan rakyat berdaulat itu. Semata adalah kewajiban sebagaimana mereka menerima hak dari kerja mereka berupa imbalan yang diatur melalui undang-undang dan peraturan yang berlaku serta hukum yang berlaku.
Berangkat dari filosopi dasar rakyat berdaulat di atas maka apa yang dialami dan dihadapi rakyat Indonesia saat ini. Maka kepedihan yang menyayat hati adalah kata yang mungkin pantas untuk disampaikan. Mengapa demikian? Karena kekuasaan dan daulat rakyat dalam tali hubungan tak jelas di mana sering terjadi rakyat dipandang sebagai massa yang harus dimobilisir dan tidak jelasnya hak-hak dasar rakyat yang seharusnya ada dan terlindungi serta dijamin sebagai suatu keharusan tidak terlihat dengan jelas.
Intinya, bahwa Political Will untuk semua interpretasi kedaulatan dalam asumsi The People & Law Supremacy adalah sebagai berikut:
Pertama, kedaulatan adalah kedaulatan alami lahiriah, konstitusional sudah menjadi milik rakyat with no reserve.
Kedua, kedaulatan bukan kedaulatan partai atau kedaulatan dalam bentuk lain di luar individu rakyat itu sendiri. Tetapi, kedaulatan rakyat Indonesia.
Ketiga, yang terjadi dalam perjalanan bangsa adalah hilangnya kesadaran atau memang tidak menyadarinya sama sekali bahwa kedaulatan itu mutlak berada di tangan rakyat itu sendiri. Suatu kesadaran bangsa yang belum selesai, bukti bahwa hilangnya kesadaran atau memang tidak disadari sama sekali adalah kemiskinan dan kebodohan yang parah yang dialami rakyat bangsa ini.
Keempat, lalu bagaimana cara untuk mengembalikan kesadaran itu? Jawabnya adalah mengembalikan pemahaman akan filosofi dasar kebangsaan Republik Indonesia yang kemudian diterjemahkan dan diimplementasikan pada konteks sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya.
Dan terakhir, untuk memperoleh kesejahteraan bangsa harus diingat bahwa kata "bangsa" di sini adalah berarti seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Ringkasnya kemiskinan itu harus lenyap dari Negara Republik Indonesia sesegera mungkin. Artinya paling sedikit standar kebutuhan dasar seluruh rakyat Indonesia harus terpenuhi dan terjamin keberlanjutannya. Paling tidak standar dasar bagi rakyat Indonesia harus berada di atas garis kemiskinan (dalam definisi). Sehingga untuk pertama kali tidak ada lagi sebutan "miskin" bagi rakyat Indonesia.
Hal di atas harus menjadi concern utama kita dalam membangkitkan kesadaran pada diri kita dan rakyat bahwa mereka adalah pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini. Mengapa? Sebab, rakyat yang sadar tentulah rakyat yang mengerti akan hak-haknya.
Rakyat yang sadar adalah kontrol utama bagi kemungkinan terjadi penyelewengan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan negara.
Oleh karena itu sistem negara yang terbentuk dalam UUD harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 di atas juga bermakna bahwa rakyat adalah pemegang Kedaulatan tertinggi di republik ini. Artinya, setiap individu rakyat Indonesia adalah pemegang kedaulatan dan\/ atau kalau boleh dikatakan adalah para "pemegang saham" Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks kedaulatan rakyat di atas penting bagi kita untuk memahami kembali apa itu istilah "rakyat". Karena ada dua maknanya yang signifikan berbeda, yang mungkin baik untuk kita bedakan secara tipografis. Apabila kita bicara tentang kedaulatan rakyat kita harus mengetahui apakah kita berbicara tentang Rakyat sebagai pemilih dan diplih. Atau mengenai Rakyat sebagai "pemegang kedaulatan" yang terdiri dari seluruh penduduk yang ada. Termasuk nenek moyang dan anak cucu mereka.
Hal ini semakin penting untuk dipahami sehubungan fakta adanya kecenderungan umum perilaku politisi Indonesia yang seenaknya mengatasnamakan "rakyat" dalam setiap aktivitas politiknya. Bahkan kini banyak partai baru yang bermunculan dengan nama yang diembel-embeli dengan kata "rakyat".
Acap kali diasumsikan tetapi tanpa bukti bahwa pendapat rakyat sebagai pemilih dan yang dipilih dapat diperlakukan sebagai pernyataan dari kepentingan rakyat sebagai suatu masyarakat bangsa. Masalah krusial dari demokrasi modern timbul dari kenyataan bahwa asumsi ini jelas. Para pemilih dan yang dipilih tidak dapat begitu saja dianggap sebagai mewakili Rakyat.
Mengapa? Karena para pemilih dan yang dipilih tidak pernah sama dengan seluruh penduduk. Bahkan seluruh penduduk dewasa yang hidup. Perbedaan antara Rakyat sebagai pemilih\/ dipilih dan Rakyat sebagai warga bangsa pemegang Kedaulatan. Maka para pemilih dan yang dipilih itu tidak dapat mengklaim bahwa kepentingan mereka adalah sama dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Kemajemukan para pemilih dan yang dipilih itu bukanlah Rakyat. Klaim bahwa mereka itu memang demikian adanya adalah suatu pernyataan hak yang palsu untuk membenarkan perampasan kedaulatan rakyat oleh para politisi. Dalam kenyataannya para politisi ini dapat digambarkan sebagai pesulap di mana sejumlah kecil orang diberikan wewenang Rakyat. Itulah sebabnya kenapa demikian banyak tindakan kriminal yang dilakukan atas nama rakyat di Republik ini. Banyak contoh jika dikemukakan di sini.
Dengan demikian jelas bahwa yang dinamakan rakyat itu bukan saja kumpulan dari semua orang yang hidup yang memilih dan yang dipilih. Rakyat itu juga adalah orang-orang. Generasi-generasi yang saling berhubungan meski orangnya berubah-ubah.
Bukan saja antara mereka yang hidup akan tetapi juga dengan mereka yang telah meninggal dan mereka yang akan dilahirkan. Rakyat itu adalah suatu korporasi, suatu entitas, yang dapat dikatakan terus hidup meskipun individunya masuk dan keluar. Bahkan walaupun tanpa pemimpin.
Apabila kita tinjau dari sudut orang perorang secara individu maka apa yang disebut rakyat itu untuk sebagian besarnya tidak dapat diraba dan tidak dapat didengar. Memang sebagai keseluruhan rakyat itu tidak ada, dalam pengertian bahwa banyak dari mereka yang telah meninggal dan demikian banyak pula yang belum dilahirkan.
Namun, makhluk yang disebut rakyat, meski tidak dapat dirasakan oleh indra kita, tetapi secara emosional mengikat orang kepada tanah airnya dengan "ikatan yang meskipun cair seperti air, namun sama kuatnya dengan ikatan besi baja".
Inilah sebabnya para pemuda rela mati di medan laga demi membela tanah air, dan inilah yang menyebabkan orang-orang tua kita menanam pohon yang mereka tidak akan pernah duduk di bawah kerindangannya kelak di suatu hari.
Rakyat yang tidak terlihat, tidak terdengar, dan bahkan tidak ada ini, memberikan makna rasional kepada tujuan-tujuan pemerintah (baca: negara) yang penting. Jika kita membantahnya, dengan mengindentifikasikan rakyat dengan banyak orang yang memberikan suara dalam pemilihan umum. Maka ini dapat berbahaya bagi masa depan Negara Republik Indonesia yang mempunyai cita-cita sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Sebab, tanpa ikatan dengan masa depan ini, mereka rakyat tidak akan dapat hidup dan bekerja, tanpa ikatan-ikatan ini jaringan masyarakat akan terurai dan terpecah-belah. Jadi telah jelas bahwa rakyat tidak indentik dengan pemilih dan yang terpilih. Hal ini penting untuk tidak mengatasnamakan rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Perlu dipahami lebih dalam bahwa terdapat tiga unsur fundamental yang tidak boleh lepas dari filosofi dasarnya dalam logika hubungan ketiga unsur pokok dalam pembukaan UUD 1945 yang dikemukan diatas, yaitu: Negara - Daulat Rakyat dan Permusyawaratan\/Perwakilan.
Dalam hal negara adalah menjelaskan wujud simbolik manifestasi dari daulat rakyat Daulat rakyat adalah kumpulan manusia individu berdaulat yang meletakkan kedaulatannya dalam bentuk negara namun daulat manusia individu adalah alami. Melekat pada diri dan alamnya sebagaimana kehadirannya di dunia ada atau tiadanya suatu negara. Jadi, daulat manusia bukan karena negara.
Jadi, negara adalah merupakan suatu keberadaan yang berasal dari kumpulan daulat rakyat yang dalam realitanya adalah terwujud menjadi bagian-bagian atau organ-organ kelembagaaan negara. Sedangkan permusyawaratan perwakilan adalah menunjukkan adanya keberagaman manusia berdaulat karena kata musyawarah memastikan bahwa manusianya tidak satu.
Karena individu manusia berdaulat itu tidak satu tetapi dapat seribu, sejuta, sampai miliar untuk suatu negara. Maka hal yang mustahil dapat duduk di satu meja membicakan keinginan-keinginan mereka. Karenanya timbul kata perwakilan dalam konteks politik riil dalam kehidupan bernegara.
Perwakilan inilah yang dilembagakan yang isinya dapat terdiri dari kelompok-kelompok manusia yang terpolarisasi ke dalam lembaga-lembaga partai politik yang ada dalam suatu negara yang di dalamnya melekat atau dilekatkan wewenang atau kekuasaan dari peletakan atau penyerahan sebagian kedaulatan rakyat itu.
Pertarungan perebutan kekuasaan yang terdapat di dalam lembaga negara itu dilakukan oleh partai-partai politik. Namun, haruslah selalu diingat dan jangan pernah dilupakan bahwa pada dasarnya rakyat berdaulat itu adalah komunitas yang berbeda eksistensinya dengan lembaga-lembaga negara atau perwakilan, karena adanya lembaga-lembaga negara atau keterwakilan mutlak adalah berasal dari daulat rakyat. Namun, keberadaan daulat rakyat tidak karena adanya kelembagaan itu atau keterwakilan itu. Karena daulat rakyat itu melekat atau inheren dengan alam dan kekayaan alamnya.
Berarti rakyat berdaulat itu pemilik alam dan kekayaan alam itu. Manusia berdaulat itulah sebagai yang mutlak memilih hak atas segala sesuatunya yang berkaitan dengan alam dan kekayaan alamnya. Inilah yang menjadi dasar kedaulatan itu. Karenanya yang namanya rakyat mutlak memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat dihilangkan.
Dari uraian di atas jelaslah sudah. Apa pun namanya lembaga representasi daulat rakyat suatu negara tidak dapatlah lupa atau lepas, atau semena-semena terhadap hak-hak dasar itu.
Berangkat dari logika ini, maka betapa pun penguasa lembaga-lembaga itu bekerja dalam titipan wewenang yang dilekatkan padanya suatu kekuasaan yang jelas merupakan terbatas hanya pada wewenang dan kekuasaan di luar hak-hak dasar itu. Karenanya hak-hak dasar rakyat itu tidak dapat diganggu gugat.
Sekarang sampailah kita membicarakan apa hak-hak dasar itu. Hak-hak dasar adalah tergantung dari rakyat berdaulat itu sejauh mana dan dalam bentuk apa itu seharusnya ada.
Jika salah satu yang disepakati rakyat berdaulat adalah hak dasar rakyat berdaulat untuk tidak ada yang lapar atau kurang beras walau hanya sehari. Maka kewajiban dari penguasa yang memegang titipan wewenang yang bekerja untuk dan atas nama rakyat berdaulat itu adalah memenuhi kebutuhan itu.
Jika hak-hak dasar rakyat itu adalah hak untuk mendapatkan santunan bagi para penganggur yang mana merupakan kewajiban orang-orang yang dibayar rakyat (penyelenggara negara) untuk bekerja menciptakan lapangan kerja bagi rakyat berdaulat tak mampu melaksanakan tugasnya menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat berdaulat maka kewajibannya memberi santunan pada rakyat berdaulat itu sebagai konsekwensi ketidakmampuannya menciptakan lapangan pekerjaan adalah suatu keharusan.
Atas dasar pemahaman filosofi yang telah diuraikan di atas maka jelaslah bahwa rakyat berdaulat pemegang kuasa penuh dari alam beserta isi kekayaannya dan walaupun sebagian kedaulatannya diserahkan pada lembaga pengurus negara yang dilekatkan kewenangan atau kekuasaan bukanlah yang bersifat absolut. Sehingga negara menjadi selera para pekerja negara tersebut yang kebetulan terpilih untuk duduk pada posisi-posisi dari organ kerja tersebut. Tetapi, merupakan amanah yang harus mereka jalankan untuk kepentingan pemberi kuasa yaitu rakyat berdaulat.
Karenanya eksistensi rakyat dalam kaitan hak dasarnya tidak tergantung dari adanya suatu pemerintahan terpilih karena hubungan antara penguasa dan rakyat berdaulat itu. Semata adalah kewajiban sebagaimana mereka menerima hak dari kerja mereka berupa imbalan yang diatur melalui undang-undang dan peraturan yang berlaku serta hukum yang berlaku.
Berangkat dari filosopi dasar rakyat berdaulat di atas maka apa yang dialami dan dihadapi rakyat Indonesia saat ini. Maka kepedihan yang menyayat hati adalah kata yang mungkin pantas untuk disampaikan. Mengapa demikian? Karena kekuasaan dan daulat rakyat dalam tali hubungan tak jelas di mana sering terjadi rakyat dipandang sebagai massa yang harus dimobilisir dan tidak jelasnya hak-hak dasar rakyat yang seharusnya ada dan terlindungi serta dijamin sebagai suatu keharusan tidak terlihat dengan jelas.
Intinya, bahwa Political Will untuk semua interpretasi kedaulatan dalam asumsi The People & Law Supremacy adalah sebagai berikut:
Pertama, kedaulatan adalah kedaulatan alami lahiriah, konstitusional sudah menjadi milik rakyat with no reserve.
Kedua, kedaulatan bukan kedaulatan partai atau kedaulatan dalam bentuk lain di luar individu rakyat itu sendiri. Tetapi, kedaulatan rakyat Indonesia.
Ketiga, yang terjadi dalam perjalanan bangsa adalah hilangnya kesadaran atau memang tidak menyadarinya sama sekali bahwa kedaulatan itu mutlak berada di tangan rakyat itu sendiri. Suatu kesadaran bangsa yang belum selesai, bukti bahwa hilangnya kesadaran atau memang tidak disadari sama sekali adalah kemiskinan dan kebodohan yang parah yang dialami rakyat bangsa ini.
Keempat, lalu bagaimana cara untuk mengembalikan kesadaran itu? Jawabnya adalah mengembalikan pemahaman akan filosofi dasar kebangsaan Republik Indonesia yang kemudian diterjemahkan dan diimplementasikan pada konteks sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya.
Dan terakhir, untuk memperoleh kesejahteraan bangsa harus diingat bahwa kata "bangsa" di sini adalah berarti seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Ringkasnya kemiskinan itu harus lenyap dari Negara Republik Indonesia sesegera mungkin. Artinya paling sedikit standar kebutuhan dasar seluruh rakyat Indonesia harus terpenuhi dan terjamin keberlanjutannya. Paling tidak standar dasar bagi rakyat Indonesia harus berada di atas garis kemiskinan (dalam definisi). Sehingga untuk pertama kali tidak ada lagi sebutan "miskin" bagi rakyat Indonesia.
Hal di atas harus menjadi concern utama kita dalam membangkitkan kesadaran pada diri kita dan rakyat bahwa mereka adalah pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini. Mengapa? Sebab, rakyat yang sadar tentulah rakyat yang mengerti akan hak-haknya.
Rakyat yang sadar adalah kontrol utama bagi kemungkinan terjadi penyelewengan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan negara.