MENU

Senin, 25 September 2017

Negara Daulat Rakyat

Dalam Preambule (Pembukaan) UUD 1945 ditegaskan bahwa " ... Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan ... Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan\/Perwakilan ... ". Hal ini jelas memberikan penegasan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat. Berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.

Oleh karena itu sistem negara yang terbentuk dalam UUD harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 di atas juga bermakna bahwa rakyat adalah pemegang Kedaulatan tertinggi di republik ini. Artinya, setiap individu rakyat Indonesia adalah pemegang kedaulatan dan\/ atau kalau boleh dikatakan adalah para "pemegang saham" Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam konteks kedaulatan rakyat di atas penting bagi kita untuk memahami kembali apa itu istilah "rakyat". Karena ada dua maknanya yang signifikan berbeda, yang mungkin baik untuk kita bedakan secara tipografis. Apabila kita bicara tentang kedaulatan rakyat kita harus mengetahui apakah kita berbicara tentang Rakyat sebagai pemilih dan diplih. Atau mengenai Rakyat sebagai "pemegang kedaulatan" yang terdiri dari seluruh penduduk yang ada. Termasuk nenek moyang dan anak cucu mereka.

Hal ini semakin penting untuk dipahami sehubungan fakta adanya kecenderungan umum perilaku politisi Indonesia yang seenaknya mengatasnamakan "rakyat" dalam setiap aktivitas politiknya. Bahkan kini banyak partai baru yang bermunculan dengan nama yang diembel-embeli dengan kata "rakyat".

Acap kali diasumsikan tetapi tanpa bukti bahwa pendapat rakyat sebagai pemilih dan yang dipilih dapat diperlakukan sebagai pernyataan dari kepentingan rakyat sebagai suatu masyarakat bangsa. Masalah krusial dari demokrasi modern timbul dari kenyataan bahwa asumsi ini jelas. Para pemilih dan yang dipilih tidak dapat begitu saja dianggap sebagai mewakili Rakyat.

Mengapa? Karena para pemilih dan yang dipilih tidak pernah sama dengan seluruh penduduk. Bahkan seluruh penduduk dewasa yang hidup. Perbedaan antara Rakyat sebagai pemilih\/ dipilih dan Rakyat sebagai warga bangsa pemegang Kedaulatan. Maka para pemilih dan yang dipilih itu tidak dapat mengklaim bahwa kepentingan mereka adalah sama dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Kemajemukan para pemilih dan yang dipilih itu bukanlah Rakyat. Klaim bahwa mereka itu memang demikian adanya adalah suatu pernyataan hak yang palsu untuk membenarkan perampasan kedaulatan rakyat oleh para politisi. Dalam kenyataannya para politisi ini dapat digambarkan sebagai pesulap di mana sejumlah kecil orang diberikan wewenang Rakyat. Itulah sebabnya kenapa demikian banyak tindakan kriminal yang dilakukan atas nama rakyat di Republik ini. Banyak contoh jika dikemukakan di sini.

Dengan demikian jelas bahwa yang dinamakan rakyat itu bukan saja kumpulan dari semua orang yang hidup yang memilih dan yang dipilih. Rakyat itu juga adalah orang-orang. Generasi-generasi yang saling berhubungan meski orangnya berubah-ubah.

Bukan saja antara mereka yang hidup akan tetapi juga dengan mereka yang telah meninggal dan mereka yang akan dilahirkan. Rakyat itu adalah suatu korporasi, suatu entitas, yang dapat dikatakan terus hidup meskipun individunya masuk dan keluar. Bahkan walaupun tanpa pemimpin.

Apabila kita tinjau dari sudut orang perorang secara individu maka apa yang disebut rakyat itu untuk sebagian besarnya tidak dapat diraba dan tidak dapat didengar. Memang sebagai keseluruhan rakyat itu tidak ada, dalam pengertian bahwa banyak dari mereka yang telah meninggal dan demikian banyak pula yang belum dilahirkan.

Namun, makhluk yang disebut rakyat, meski tidak dapat dirasakan oleh indra kita, tetapi secara emosional mengikat orang kepada tanah airnya dengan "ikatan yang meskipun cair seperti air, namun sama kuatnya dengan ikatan besi baja".

Inilah sebabnya para pemuda rela mati di medan laga demi membela tanah air, dan inilah yang menyebabkan orang-orang tua kita menanam pohon yang mereka tidak akan pernah duduk di bawah kerindangannya kelak di suatu hari.

Rakyat yang tidak terlihat, tidak terdengar, dan bahkan tidak ada ini, memberikan makna rasional kepada tujuan-tujuan pemerintah (baca: negara) yang penting. Jika kita membantahnya, dengan mengindentifikasikan rakyat dengan banyak orang yang memberikan suara dalam pemilihan umum. Maka ini dapat berbahaya bagi masa depan Negara Republik Indonesia yang mempunyai cita-cita sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Sebab, tanpa ikatan dengan masa depan ini, mereka rakyat tidak akan dapat hidup dan bekerja, tanpa ikatan-ikatan ini jaringan masyarakat akan terurai dan terpecah-belah. Jadi telah jelas bahwa rakyat tidak indentik dengan pemilih dan yang terpilih. Hal ini penting untuk tidak mengatasnamakan rakyat demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Perlu dipahami lebih dalam bahwa terdapat tiga unsur fundamental yang tidak boleh lepas dari filosofi dasarnya dalam logika hubungan ketiga unsur pokok dalam pembukaan UUD 1945 yang dikemukan diatas, yaitu: Negara - Daulat Rakyat dan Permusyawaratan\/Perwakilan.

Dalam hal negara adalah menjelaskan wujud simbolik manifestasi dari daulat rakyat Daulat rakyat adalah kumpulan manusia individu berdaulat yang meletakkan kedaulatannya dalam bentuk negara namun daulat manusia individu adalah alami. Melekat pada diri dan alamnya sebagaimana kehadirannya di dunia ada atau tiadanya suatu negara. Jadi, daulat manusia bukan karena negara.

Jadi, negara adalah merupakan suatu keberadaan yang berasal dari kumpulan daulat rakyat yang dalam realitanya adalah terwujud menjadi bagian-bagian atau organ-organ kelembagaaan negara. Sedangkan permusyawaratan perwakilan adalah menunjukkan adanya keberagaman manusia berdaulat karena kata musyawarah memastikan bahwa manusianya tidak satu.

Karena individu manusia berdaulat itu tidak satu tetapi dapat seribu, sejuta, sampai miliar untuk suatu negara. Maka hal yang mustahil dapat duduk di satu meja membicakan keinginan-keinginan mereka. Karenanya timbul kata perwakilan dalam konteks politik riil dalam kehidupan bernegara.

Perwakilan inilah yang dilembagakan yang isinya dapat terdiri dari kelompok-kelompok manusia yang terpolarisasi ke dalam lembaga-lembaga partai politik yang ada dalam suatu negara yang di dalamnya melekat atau dilekatkan wewenang atau kekuasaan dari peletakan atau penyerahan sebagian kedaulatan rakyat itu.

Pertarungan perebutan kekuasaan yang terdapat di dalam lembaga negara itu dilakukan oleh partai-partai politik. Namun, haruslah selalu diingat dan jangan pernah dilupakan bahwa pada dasarnya rakyat berdaulat itu adalah komunitas yang berbeda eksistensinya dengan lembaga-lembaga negara atau perwakilan, karena adanya lembaga-lembaga negara atau keterwakilan mutlak adalah berasal dari daulat rakyat. Namun, keberadaan daulat rakyat tidak karena adanya kelembagaan itu atau keterwakilan itu. Karena daulat rakyat itu melekat atau inheren dengan alam dan kekayaan alamnya.

Berarti rakyat berdaulat itu pemilik alam dan kekayaan alam itu. Manusia berdaulat itulah sebagai yang mutlak memilih hak atas segala sesuatunya yang berkaitan dengan alam dan kekayaan alamnya. Inilah yang menjadi dasar kedaulatan itu. Karenanya yang namanya rakyat mutlak memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat dihilangkan.

Dari uraian di atas jelaslah sudah. Apa pun namanya lembaga representasi daulat rakyat suatu negara tidak dapatlah lupa atau lepas, atau semena-semena terhadap hak-hak dasar itu.

Berangkat dari logika ini, maka betapa pun penguasa lembaga-lembaga itu bekerja dalam titipan wewenang yang dilekatkan padanya suatu kekuasaan yang jelas merupakan terbatas hanya pada wewenang dan kekuasaan di luar hak-hak dasar itu. Karenanya hak-hak dasar rakyat itu tidak dapat diganggu gugat.

Sekarang sampailah kita membicarakan apa hak-hak dasar itu. Hak-hak dasar adalah tergantung dari rakyat berdaulat itu sejauh mana dan dalam bentuk apa itu seharusnya ada.

Jika salah satu yang disepakati rakyat berdaulat adalah hak dasar rakyat berdaulat untuk tidak ada yang lapar atau kurang beras walau hanya sehari. Maka kewajiban dari penguasa yang memegang titipan wewenang yang bekerja untuk dan atas nama rakyat berdaulat itu adalah memenuhi kebutuhan itu.

Jika hak-hak dasar rakyat itu adalah hak untuk mendapatkan santunan bagi para penganggur yang mana merupakan kewajiban orang-orang yang dibayar rakyat (penyelenggara negara) untuk bekerja menciptakan lapangan kerja bagi rakyat berdaulat tak mampu melaksanakan tugasnya menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat berdaulat maka kewajibannya memberi santunan pada rakyat berdaulat itu sebagai konsekwensi ketidakmampuannya menciptakan lapangan pekerjaan adalah suatu keharusan.

Atas dasar pemahaman filosofi yang telah diuraikan di atas maka jelaslah bahwa rakyat berdaulat pemegang kuasa penuh dari alam beserta isi kekayaannya dan walaupun sebagian kedaulatannya diserahkan pada lembaga pengurus negara yang dilekatkan kewenangan atau kekuasaan bukanlah yang bersifat absolut. Sehingga negara menjadi selera para pekerja negara tersebut yang kebetulan terpilih untuk duduk pada posisi-posisi dari organ kerja tersebut. Tetapi, merupakan amanah yang harus mereka jalankan untuk kepentingan pemberi kuasa yaitu rakyat berdaulat.

Karenanya eksistensi rakyat dalam kaitan hak dasarnya tidak tergantung dari adanya suatu pemerintahan terpilih karena hubungan antara penguasa dan rakyat berdaulat itu. Semata adalah kewajiban sebagaimana mereka menerima hak dari kerja mereka berupa imbalan yang diatur melalui undang-undang dan peraturan yang berlaku serta hukum yang berlaku.

Berangkat dari filosopi dasar rakyat berdaulat di atas maka apa yang dialami dan dihadapi rakyat Indonesia saat ini. Maka kepedihan yang menyayat hati adalah kata yang mungkin pantas untuk disampaikan. Mengapa demikian? Karena kekuasaan dan daulat rakyat dalam tali hubungan tak jelas di mana sering terjadi rakyat dipandang sebagai massa yang harus dimobilisir dan tidak jelasnya hak-hak dasar rakyat yang seharusnya ada dan terlindungi serta dijamin sebagai suatu keharusan tidak terlihat dengan jelas.

Intinya, bahwa Political Will untuk semua interpretasi kedaulatan dalam asumsi The People & Law Supremacy adalah sebagai berikut:

Pertama, kedaulatan adalah kedaulatan alami lahiriah, konstitusional sudah menjadi milik rakyat with no reserve.

Kedua, kedaulatan bukan kedaulatan partai atau kedaulatan dalam bentuk lain di luar individu rakyat itu sendiri. Tetapi, kedaulatan rakyat Indonesia.

Ketiga, yang terjadi dalam perjalanan bangsa adalah hilangnya kesadaran atau memang tidak menyadarinya sama sekali bahwa kedaulatan itu mutlak berada di tangan rakyat itu sendiri. Suatu kesadaran bangsa yang belum selesai, bukti bahwa hilangnya kesadaran atau memang tidak disadari sama sekali adalah kemiskinan dan kebodohan yang parah yang dialami rakyat bangsa ini.

Keempat, lalu bagaimana cara untuk mengembalikan kesadaran itu? Jawabnya adalah mengembalikan pemahaman akan filosofi dasar kebangsaan Republik Indonesia yang kemudian diterjemahkan dan diimplementasikan pada konteks sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain sebagainya.

Dan terakhir, untuk memperoleh kesejahteraan bangsa harus diingat bahwa kata "bangsa" di sini adalah berarti seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Ringkasnya kemiskinan itu harus lenyap dari Negara Republik Indonesia sesegera mungkin. Artinya paling sedikit standar kebutuhan dasar seluruh rakyat Indonesia harus terpenuhi dan terjamin keberlanjutannya. Paling tidak standar dasar bagi rakyat Indonesia harus berada di atas garis kemiskinan (dalam definisi). Sehingga untuk pertama kali tidak ada lagi sebutan "miskin" bagi rakyat Indonesia.

Hal di atas harus menjadi concern utama kita dalam membangkitkan kesadaran pada diri kita dan rakyat bahwa mereka adalah pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini. Mengapa? Sebab, rakyat yang sadar tentulah rakyat yang mengerti akan hak-haknya.

Rakyat yang sadar adalah kontrol utama bagi kemungkinan terjadi penyelewengan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan negara.

Perbedaan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi

Perlu diketahui bahwa Mahkamah Agung (“MA”) dan Mahkamah Konstitusi (“MK”) keduanya merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) sebagaimana yang terdapat dalam bunyi Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan:
 
 “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
 
Namun, dari sisi sejarah MA sudah ada sejak 19 Agustus 1945 (lihat, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2010, Februari 2011, hal. 17). Sedangkan, MK mulai berdiri sejak 17 Agustus 2003.
 
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, MA dan MK memegang kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”).
 
Kemudian, sebelum memberikan penjelasan mengenai perbedaan MA dan MK, kita akan simak definisi MA dan MK.
 
Pengaturan mengenai MA dapat kita temui dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU 14/1985”)yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 (“UU 5/2004”) dan kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 (“UU 3/2009”).
 
Peran Mahkamah Agung dapat kita temukan dalam Pasal 2 UU 14/1985 yang berbunyi:
“Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.”
 
Di dalam penjelasan umum UU 3/2009 dikatakan bahwa MA adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Oleh karena itu, MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
 
Selanjutnya, kami akan menjelaskan mengenai MK yang pengaturannya dapat kita temui dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (“UU 8/2011”)
 
Peran MK dapat kita temukan dalam Pasal 1 UU 8/2011 yang berbunyi:
 
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
 
O.C. Kaligis dalam bukunya yang berjudul Mahkamah Konstitusi Praktik Beracara & Permasalahannya mengatakan bahwa MA dan MK sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Namun, struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain (hal. 71).

Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 
Referensi:
1.    Jimly Asshiddique. 2005. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Yarsif Watampone: Jakarta.
2.    Henry P. Panggabean. 2001. Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.
3.    O.C. Kaligis. 2005. Mahkamah Konstitusi Praktik Beracara & Permasalahannya. O.C. Kaligis & Associates: Jakarta.
4. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2010, Februari 2011.


Jumat, 08 September 2017

TUGAS DAN WEWENANG LEMBAGA EKSEKUTIF, LEGISLATIF DAN YUDIKATIF

Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi yang menerapkan teori trias politika, yaitu  pemisahan kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bidang yang memiliki kedudukan sejajar Pemisahan kekuasaan ini tidak bersifat kaku, namun ada koordinasi yang satu dengan yang lain. Pemisahan kekuasan pemerintahan diIndonesia meliputi :


  

  • Legislatif yang bertugas membuat undang undang. Lembaga legislatif meliputi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),DPD, MPR.
  • Eksekutif yang bertugas menerapkan atau melaksanakan undang-undang. Lembaga eksekutif meliputi presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang membantunya.
  • Yudikatif yang bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang. Lembaga yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung(MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial.

Tugas dan Fungsi Lembaga Legislatif

Lembaga Legislatif di Indonesia ini meliputi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan yang berada di tingkat provinsi disebut DPRD provinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota.

Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan presiden. Anggota DPR berdomisili di ibu kota negara. Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna DPR.
Jumlah Anggota DPR/DPRD Berdasarkan UU Pemilu N0. 10 Tahun 2008 ditetapkan sebagai berikut:
  • jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang;
  • jumlah anggota DPRD provinsi sekurang-kurangnya 35 orang dan sebanyak- banyak 100 orang;
  • jumlah anggota DPRD kabupaten/kota sedikitnya 20 orang dan sebanyak- banyaknya 50 orang.

Fungsi Lembaga DPR

Lembaga negara DPR yang bertindak sebagai lembaga legislatif mempunyai fungsi berikut ini :
  • Fungsi legislasi, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang.
  • Fungsi anggaran, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
  • Fungsi pengawasan, artinya DPR sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang.

Hak-Hak DPR

DPR sebagai lembaga negara mempunyai hak-hak, antara lain sebagai berikut.
  • Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
  • Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
  • Hak menyatakan pendapat adalah hak DR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai mitra kerja.

Dewan Perwakilan Daerah

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. DPD terdiri atas wakil-wakil dari provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Jumlah anggota DPD dari setiap provinsi tidak sama, tetapi ditetapkan sebanyak-banyaknya empat orang. Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Masa jabatan anggota DPD adalah lima tahun.

Tugas dan Wewenang DPD

Berdasarkan Pasal 22 D UUD 1945 kewenangan DPD sebagai berikut.
  • Dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  • Ikut merancang undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  • Memberi pertimbangan kepada DPR yang berkaitan dengan rancangan undang-undang, RAPBN, pajak, pendidikan, dan agama.
  • Melakukan pengawasan yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dengan daerah, pajak, pendidikan, dan agama.

 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Lembaga MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum untuk masa jabatan selama lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR. Sebelum UUD 1945 diamandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Namun, setelah UUD 1945 istilah lembaga tertinggi negara tidak ada yang ada hanya lembaga negara.

Tugas dan Wewenang MPR

Berdasarkan Pasal 3 Ayat 1 UUD 1945 , MPR mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut :
  • Mengubah dan menetapkan undang-undang dasar;
  • Melantik presiden dan wakil presiden;
  • Memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar.
  • Anggota MPR mempunyai hak berikut ini dalam menjalankan tugasnya:
  • Mengajukan usul perubahan pasal-pasal undang-undang dasar;
  • Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan;
  • Memilih dan dipilih;
  • Membela diri;
  • Imunitas;
  • Protokoler;
  • Keuangan dan administratif.

Tugas dan Fungsi Lembaga Eksekutif

Lembaga Eksekutif di Indonesia meliputi presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang membantunya. Presiden adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif yaitu mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Di Indonesia, Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan wakil presiden sebelum menjalankan tugasnya bersumpah atau mengucapkan janji dan dilantik oleh ketua MPR dalam sidang MPR. Setelah dilantik, presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan program yang telah ditetapkan sendiri. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dan wakil presiden tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Tugas dan Wewenang Presiden

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden sebagai kepala negara mempunyai wewenang sebagai berikut:
  • Membuat perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat.
  • Mengangkat duta dan konsul. Duta adalah perwakilan negara indonesia di negara sahabat. Duta bertugas di kedutaan besar yang ditempatkan di ibu kota negara sahabat itu. Sedangkan konsul adalah lembaga yang mewakili negara Indonesia di kota tertentu di bawah kedutaan besar kita.
  • Menerima duta dari negara lain
  • Memberi gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya kepada warga negara indonesia atau warga negara asing yang telah berjasa mengharumkan nama baik Indonesia.

Sebagai seorang kepala pemerintahan, presiden mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan pemerintahan negara Indonesia. 

Wewenang, hak dan kewajiban Presiden sebagai kepala pemerintahan, diantaranya:

  • Memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar
  • Berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR
  • Menetapkan peraturan pemerintah
  • Memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang- Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa
  • Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi adalah pengampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada orang yang dijatuhi hukuman. Sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan nama baik atau kehormatan seseorang yang telah dituduh secara tidak sah atau dilanggar kehormatannya.
  • Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Amnesti adalah pengampunan atau pengurangan hukuman yang diberikan oleh negara kepada tahanan-tahanan, terutama tahanan politik. Sedangkan abolisi adalah pembatalan tuntutan pidana.
Presiden juga merupakan panglima tertinggi angkatan perang.

Wewenang presiden sebagai panglima tertinggi angkatan perang adalah sebagai berikut:

  • Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR
  • Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
  • Menyatakan keadaan bahaya.

Tugas dan Fungsi Lembaga Yudikatif

Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Badan Yudikatif Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Di Indonesia, kini dikenal adanya 3 badang yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan tersebut. Badan-badan itu adalah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.

Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam masalah hukum kriminal, hukum sipil (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); hukum konstitusi (masalah seputar penafsiran kontitusi); hukum administatif (hukum yang mengatur administrasi negara); hukum internasional (perjanjian internasional).
  • Hukum kriminal, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.
  • Hukum Konstitusi, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
  • Hukum Administratif, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.
  • Hukum Internasional, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Mahkamah Agung

Mahkamah Agung merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung adalah pengadilan tertinggi di negara kita. Perlu diketahui bahwa peradilan di Indonesia dapat dibedakan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara (PTUN).

Mahkamah Agung, sesuai Pasal 24 A UUD 1945, memiliki kewenangan mengadili kasus hukum pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.

Kewajiban dan Wewenang Mahkamah Agung, antara lain sebagai berikut:

Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang;
  • Mengajukan tiga orang anggota hakim konstitusi;
  • Memberikan pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi.

Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi, sesuai Pasal 24C UUD 1945, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. 

Komisi Yudisial

Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang berikut ini:
  • Mengusulkan pengangkatan hakim agung;
  • Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
  • Komisi Yudisial, sesuai pasal 24B UUD 1945, bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim.
Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Komisi Yudisial terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan tujuh orang anggota. Masa jabatan anggota Komisi Yudisial lima tahun.

Demikian penjelasan mengenai pemisahan kekuasaan Legislatif, Eksekutif da Yudikatif di Indonesia. Silakan kunjungi artikel SistemPemerintahan Indonesia lainnya.

Jumat, 01 September 2017

Sanksi Dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, PerPres_54/2010

Melihat dasar aturan yang dipergunakan dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dapat diketahui bahwa rumpun hukum yang dipergunakan adalah hukum administrasi negara, yang sifatnya mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya.

Pengaturan tentang Sanksi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diatur di dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 124 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya. Di dalam pasal-pasal tersebut mengatur perbuatan dan sanksi yang dapat dikenakan bagi para pihak dalam pelaksaan pengadaan sesuai ranah dan fungsi tanggungjawab masing-masing.

Bentuk-bentuk perbuatan yang dapat dikenakan sanksi sesuai ranah para pihak adalah sebagai berikut :

Penyedia Barang/Jasa
  • berusaha mempengaruhi Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain.
  • membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/ atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan.
  • mengundurkan diri setelah batas akhir pemasukan penawaran atau mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.
  • tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab.
  • ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.
  • terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa.
  • Konsultan perencana yang tidak cermat dan mengakibatkan kerugian negara.

Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan
  • terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.
  • terjadi kecurangan dalam pengumuman Pengadaan oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan

Pejabat Pembuat Komitmen
  • terjadi cidera janji terhadap ketentuan yang termuat dalam Kontrak.
  • terjadi keterlambatan pembayaran

Jika melihat bentuk perbuatan yang dapat dikenakan sanksi sesuai ranah para pihak yang diatur di dalam Pasal-pasal tersebut, kecendurangan awal yang dapat dilihat adalah perbuatan-perbuatan penyimpangan tersebut diberlakukan pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang menggunakan Penyedia. Dalam kaitan dengan pelaksanaan yang dilakukan dengan cara swakelola, tentunya sanksi tersebut tidak dapat diabaikan dan tetap terus berlaku.

Hal ini mengingat dengan metode swakelola pun jika membutuhkan penyedia, maka berlaku ketentuan dan tata cara dalam memilih penyedia, khususnya kepada pemberlakukan Swakelola oleh penanggungjawab anggaran dan swakelola yang dilaksanakan oleh kelompok instansi pemerintah lainnya.

Adapun bentuk sanksi yang dapat dikenakan para pihak tersebut sesuai dengan pelanggaran adalah sebagai berikut :

Sanksi Administratif
Pemberian sanksi administratif, dilakukan oleh PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan kepada penyedia sesuai dengan ketentuan admisnitrasi yang diberlakukan dalam peraturan pengadaan ini. Bentuk-bentuk sanksi administrasi yang dapat dikenakan kepada penyedia adalah :
  • Digugurkan penawarannya atau pembatalan pemenang atas ditemukan adanya penyimpangan upaya mempengaruhi Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan, melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran di luar prosedur, dan membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/ atau keterangan lain yang tidak benar.
  • Pemberlakukan denda terlambat dalam menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan. Sanksi ini juga dapat diterapkan dalam konteks perdata sebuah perjanjian atau kontrak.
  • Pencairan jaminan yang diterbitkan atas pelanggaran yang dilakukan. Untuk selanjutnya dicairkan masuk ke kas negara / daerah.
  • Penyampaian laporan kepada pihak yang berwenangan menerbitkan perizinan, terhadap penyimpangan yang dilakukan sehingga dianggap perlu untuk dilakukan pencabutan izin yang dimiliki.
  • Pemberlakukan sanksi administrasi berupa pengenaan sanksi finansial atas ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.
  • Kewajiban untuk menyusun perencanaan ulang dengan biaya sendiri atas Konsultan perencana yang tidak cermat dalam menyusun perencanaan dan mengakibatkan kerugian negara. Sanksi ini juga dapat diterapkan dalam konteks perdata sebuah perjanjian atau kontrak

Dalam hal yang melakukan pelanggaran adalah PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan yang notabenenya adalah berstatus pegawai negeri, maka jika ditetapkan telah melakukan pelanggaran seperti tidak belakukan tahapan proses pengadana yang telah diatur atau melakukan kecurangan dalam proses pengadaan, berlaku sanksi yang diatur di dalam aturan kepegawaian yang diberikan oleh pihak yang mempunyai kewenangan menerbitkan sanksi, seperti teguran, penundaan kenaikan pangkat, pembebasan dari jabatan, dan pemberhentian, sesuai ketentuan peraturan kepegawaian.


Sanksi Pencantuman Dalam Daftar Hitam
Pemberian sanksi Pencantuman Dalam Daftar Hitam kepada Penyedia, dilakukan oleh PA/KPA setelah mendapat masukan dari PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
Pada tahapan proses pemilihan barang/jasa, Penyedia Barang/Jasa dapat dikenakan sanksi blacklist apabila:
  • terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang;
  • mempengaruhi ULP (Unit Layanan Pengadaan)/Pejabat Pengadaan/PPK (Pejabat Pembuat Komitmen)/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan Dokumen Pengadaan dan/atau HPS yang mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat;
  • mempengaruhi ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain;
  • membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;
  • mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
  • membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;
  • mengundurkan diri pada masa penawarannya masih berlaku dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
  • menolak untuk menaikkan nilai jaminan pelaksanaan untuk penawaran dibawah 80% HPS;
  • memalsukan data tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri;
  • mengundurkan diri bagi pemenang dan pemenang cadangan 1 (satu) dan 2 (dua) pada saat penunjukan Penyedia Barang/Jasa dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh PPK; dan/atau
  • mengundurkan diri dari peraksanaan penandatanganan kontrak dengan arasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh PPK.

Pada tahapan kontrak, Penyedia Barang/Jasa yang telah terikat kontrak dikenakan sanksi blacklist apabila:
  • terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pelaksanaan kontrak yang diputuskan oleh instansi yang berwenang;
  • menolak menandatangani Berita Acara Serah Terima Pekerjaan;
  • mempengaruhi PPK dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • melakukan pemalsuan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan kontrak termasuk pertanggungjawaban keuangan;
  • melakukan perbuatan lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajiban dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan sehingga dilakukan pemutusan kontrak sepihak oleh PPK;
  • meninggalkan pekerjaan sebagaimana yang diatur kontrak secara tidak bertanggungjawab;
  • memutuskan kontrak secara sepihak karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa; dan/atau
  • tidak menindaklanjuti hasil rekomendasi audit pihak yang berwenang yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan Negara.


Gugatan Secara Perdata
Gugatan adalah pengajuan yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua Pengadilan yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa dan sekaligus merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak. Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa atau konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan. Dalam perkara gugatan terdapat dua pihak yang saling berhadapan (yaitu penggugat dan tergugat).

Dalam konteks pengadaan barang/jasa para pihak yang membuat perjanjian dapat mengambil jalur hukum secara perdata jika terjadi perselisihan dalam pelaksanaan kontrak.

Hal ini dipahami sebagai bagian dari azas dalam sebuah perjanjian yaitu Asas pacta sunt servanda atau sering disebut asas kepastian hukum merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Hakim atau pihak lain harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.


Pelaporan Secara Pidana Kepada Pihak Berwenang
Laporan pidana adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Artinya, peristiwa yang dilaporkan belum tentu perbuatan pidana, sehingga dibutuhkan sebuah tindakan penyelidikan oleh pejabat yang berwenang terlebih dahulu untuk menentukan perbuatan tersebut merupakan tindak pidana atau bukan.

Dalam konteks pengadaan barang/jasa para pihak dapat mengambil jalur hukum dengan membuat laporan secara pidana kepada pihak yang berwenang, jika diduga terjadinya peristiwa pidana dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, seperti pemalsuan dokumen, praktik KKN, dan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara.

Dituntut Ganti Rugi
Pemberlakukan tuntuan ganti rugi dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dapat dikenakan berupa:
  • terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan
  • ganti rugi yang dibayar oleh PPK atas keterlambatan pembayaran adalah sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat dibayar, berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu menurut ketetapan Bank Indonesia; atau dapat diberikan kompensasi sesuai ketentuan dalam Kontrak.

Dengan pertimbangan kompleksitas penyimpangan yang terjadi, dapat dimungkinkan pihak yang melakukan kesalahan dikenakan sanksi berlapis sesuai dengan sifat pelanggarannya. Seperti contoh penyedia yang menyampaikan data yang tidak benar/palsu dalam penawarannya, maka dapat dikenakan sanksi administrasi, pengenaan daftar hitam, dan laporan secara perdata kepada pihak yang berwenang.

Dalam pembahasan sanksi pada pelaksanaan swakelola yang didasari dengan kontrak, yaitu jenis swakelola oleh Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola dan swakelola oleh Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola, perlu menuangkan kesepakatan perdata dalam hal sanksi bagi pihak yang terikat. Memang dalam pelaksanaannya sering diliputi keengganan para pihak, khususnya jenis swakelola oleh Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola. Namun dengan dengan pertimbangan capaian sasaran kegiatan, perlu disusun dengan cerman klausul sanksi dalam kontrak bagi pelaksana swakelola. 

Berbeda dengan dokumen kontrak lainnya, untuk kegiatan swakelola yang belum tersedia model kontrak dalam standard biding document. Kontrak harus dibuat oleh masing/masing K/L/D/I sesuai dengan karakteristik dan ruang lingkup pekerjaan sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja (TOR) masing-masing.


Catatan : Tulisan dimuat dari sebagian buku Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Sanksi Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Pengadaan Barang dan Jasa, PerPres_70/2012

Sebelumnya perlu kami jelaskan terlebih dahulu bahwa Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012 adalah tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (“Perpres No.70/2012”).
Berdasarkan pertanyaan saudara, saudara mengatakan bahwa saudara bekerja di panitia pengadaan barang dan jasa, kami berasumsi bahwa panitia yang saudara maksud adalah panitia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d Perpres No.70/2012:
Organisasi Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui Penyedia Barang/Jasa terdiri atas:
a.    PA (Pengguna Aggaran)/KPA (Kuasa Pengguna Aggaran);
b.    PPK (Pejabat Pembuat Komitmen);
c.    ULP (Unit Layanan Pengadaan)/Pejabat Pengadaan; dan
d.    Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.”
Adapun berdasarkan Pasal 1 angka 1 Perpres No.70/2012 yang dimaksud dengan pengadaan barang/jasa adalah:
“Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa.”
Saudara mengatakan bahwa ada rekanan yang izinnya tidak lengkap (SIUJK) dan untuk memenuhi syarat lelang maka rekanan mengajukan konsorsium. Saudara tidak  mempermasalahkan konsorsium asalkan sebagai leader haruslah yang suratnya lengkap. Tapi rekanan tidak terima. Sebelumnya kami jelaskan terlebih dahulu bahwa Perpres No.70 Tahun 2012 tidak mengenal adanya Rekanan, kami mengasumsikan yang saudara maksud dengan rekanan adalah penyedia barang/jasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 12 Perpres No.70 Tahun 2012, bahwa:
Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultasi/Jasa Lainnya.”
Selanjutnya berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Perpres No.70/2012 Penyedia Barang/Jasa Wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.    memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan kegiatan/usaha;
b.    memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan Barang/Jasa;
c.    memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan sebagai Penyedia Barang/Jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta, termasuk pengalaman subkontrak;
d.    ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf c, dikecualikan bagi Penyedia Barang/Jasa yang baruberdiri kurang dari 3 (tiga) tahun;
e.    memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
f.     dalam hal Penyedia Barang/Jasa akan melakukan kemitraan, Penyedia Barang/Jasa harus mempunyai perjanjian kerja sama operasi/ kemitraan yang memuat persentase kemitraan dan perusahaan yang mewakili kemitraan tersebut;
g.    memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan koperasi kecil serta kemampuan pada subbidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha non-kecil;
h.    memiliki Kemampuan Dasar (KD) untuk usaha nonkecil, kecuali untuk Pengadaan Barang dan Jasa Konsultansi;
i.     khusus untuk Pelelangan dan Pemilihan Langsung Pengadaan Pekerjaan Konstruksi memiliki dukungan keuangan dari bank;
j.     khusus untuk Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Lainnya, harus memperhitungkan Sisa Kemampuan Paket (SKP)...
k.    tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana, yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani Penyedia Barang/Jasa;
l.     sebagai wajib pajak sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir (PPTK Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 (bila ada transaksi), PPh Pasal 25/Pasal 29 dan PPN (bagi Pengusaha Kena Pajak) paling kurang 3 (tiga) bulan terakhir dalam tahun berjalan;
m. secara hukum mempunyai kapasitas untuk mengikatkan diri pada Kontrak;
n.    tidak masuk dalam Daftar Hitam;
o.    memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan jasa pengiriman; dan
p.    menandatangani Pakta Integritas.
Berdasarkan penjelasan diatas, seharusnya Penyedia barang/jasa wajib memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Perpres No.70 Tahun 2012.
Sehubungan dengan masalah persaingan tidak sehat yang saudara sebutkan di atas, saudara tidak menjelaskan proses, jenis pelelangan dan tahapan yang sedang di jalani, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,61,62 Perpres No. 70 Tahun 2012, bahwa:
Pasal 60
(1)    Pelelangan Umum dengan prakualifikasi, Pelelangan Terbatas, atau Seleksi Umum dilakukan dengan ketetapan waktu sebagai berikut:.....
Pasal 61
(1) Pelelangan Umum dan Seleksi Umum Perorangan dengan pascakualifikasi dilakukan dengan ketetapan waktu sebagai berikut:...
Pasal 62
(1) Pelelangan Sederhana, Pemilihan Langsung, atau Seleksi Sederhana Perorangan dilakukan dengan ketetapan waktu sebagai berikut:....
Terkait dengan persaingan tidak sehat tersebut diatas. Untuk proses, jenis pelelangan dan tahapan yang sedang dijalani sangat menentukan sesuatu dapat dikatakan melanggar persaingan sehat atau tidak, karena berdasarkan Pasal 83 ayat (1) huruf e, ayat (2) huruf e, ayat (3) huruf c Perpres No.70 Tahun 2012, disebutkan bahwa: 
Pasal 83
(1) Kelompok Kerja ULP menyatakan Pelelangan/Pemilihan Langsung gagal apabila:
a.    …;
b.    …;
c.    …;
d.    …;
e.    dalam evaluasi penawaran ditemukan bukti/indikasi terjadi persaingan tidak sehat;
(2) Kelompok Kerja ULP menyatakan Seleksi gagal, apabila:
a.    …;
b.    …;
c.    …;
d.    …;
e.    dalam evaluasi penawaran ditemukan bukti/indikasi terjadi persaingan tidak sehat;
(3) PA/KPA menyatakan Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung gagal, apabila:
a.    …;
b.    …;
c.     dugaan KKN dan/atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung dinyatakan benar oleh pihak berwenang;
Selanjutnya, jika terjadi pelanggararan persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dan dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang (sebagaimana dapat dibaca lebih lanjut pada Peraturan Komisi Persaingan Usaha No.2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender) maka PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak (Pasal 93 Perpres No.70 Tahun 2012).
Demikian jawaban kami, semoga dapat membantu. Terima kasih.
Dasar Hukum:
1.    Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012 adalah tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah;
2.    Peraturan Komisi Persaingan Usaha No.2 Tahun 2010 tentang Pedoman Pasal 22 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender.

Cara Menaksir Harga Rumah Berdasarkan NJOP

Harga rumah di Jakarta bisa dikatakan tidak murah lagi. Bahkan, rumah petakan yang ukurannya kecil dijual dengan harga ratusan juta ru...