Perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian, dan atas putusan pengadilan. Undang-undang di llndonesia
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) mengenal 2 (dua)
jenis gugatan perceraian, yakni:
- Cerai Talak, yaitu cerai khusus bagi yang beragama Islam, di mana suami (pemohon) mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk memperoleh izin menjatuhkan talak kepada istri. Berdasarkan agama Islam, cerai dapat dilakukan oleh suami dengan mengikrarkan talak kepada istri, namun agar sah secara hukum suami mengajukan permohonan menjatuhkan ikrar talak terhadap termohon di hadapan Pengadilan Agama.
- Cerai Gugat, yaitu gugatan perceraian yang diajukan oleh istri (penggugat) terhadap suami (tergugat) kepada Pengadilan Agama dan berlaku pula pengajuan gugatan terhadap suami oleh istri yang beragama Islam di Pengadilan Negeri. Cerai gugat inilah yang mendominasi jenis perceraian. Berdasarkan data yang ada, cerai gugat di Indonesia mencapai 70°o dari gugatan cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama.
Jadi, jika istri yang mengajukan gugatan
cerai dinamakan “cerai gugat”, dan jika suami yang mengajukan gugatan
cerai dinamakan “permohonan cerai talak”.
Dalam hukum Islam, hak cerai terletak pada
suami. Oleh karena itu di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri ada
istilah cerai talak. Sedangkan pada putusan pengadilan sendiri ada
cerai gugat yang disebut sebagai cerai inisiatif istri. Di sinilah letak
perbedaannya. Bahkan ada perkawinan yang putus karena li’an (sumpah
laknat suami-istri karena tuduhan zina), khuluk (cerai gugat, fasikh,
dan sebagainya). Putusan pengadilan ini akan ada berbagai macam
produknya.
Secara umum, masyarakat biasanya hanya
mengenal istilah talak sebatas sebutan talak satu, talak dua, dan talak
tiga. Talak yang dijatuhkan oleh suami disebut sebagai cerai talak.
Sedangkan talak yang diajukan oleh istri dinamakan cerai gugat. Jadi
sebenarnya ada dua jenis talak. Dari kedua talak ini, akan ada beberapa
produk talak. Produk cerai talak disebut sebagai talak raj’i, di mana
untuk rujuk tidak harus melalui akad nikah baru. Rujuk dalam talak raj’i
cukup hanya dengan pernyataan suami bahwa dia telah rujuk dengan sang
istri, tentu saja lewat lembaga KUA.
Sedangkan produk cerai gugat disebut talak
ba’in. Ada dua jenis talak ba’in yakni talak ba’in sughra (kecil) yang
memungkinkan rujuk dengan akad nikah baru dan talak ba’in kubro yang
tidak mungkin rujuk lagi. Dalam talak ba’in kubro, terdapat li’an dan
dzihar. Li ’an artinya adalah sumpah seorang suami dan istri bahwa satu
sama lain telah berzina. Jadi, masing-masing pihak telah siap dengan
konsekuensi dan azab dari Allah, apabila memang benar mereka berbohong.
Sedangkan dzihar adalah tindakan suami
yang mempersamakan istrinya dengan ibu kandungnya. Dalam syariat sama
saja dengan mencampuri ibunya. Oleh karena itu, li’an merupakan
perbuatan yang harus diceraikan dengan talak ba’in kubro.
3. Alasan-alasan Bercerai
Terdapat berbagai alasan yang dapat
mendasari pasangan suami-istri untuk bercerai. Tentu saja alasan-alasan
ini diajukan sebagai dasar pada saat istri mengajukan gugatan cerai atau
suami mengajukan permohonan talak di Pengadilan Agama. Alasan-alasan
im’ diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 19 PP Nomor 9
Tahun 1975, yakni sebagai berikut:
- Suami/lstri berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi yang susah disembuhkan;
- Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada izin atau alasan yang jelas dan benar, artinya dengan sadar dan sengaja meninggalkan pasangannya;
- Salah satu pihak dihukum penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan;
- Salah satu pihak bertindak kejam dan suka mengam’aya pasangannya;
- Salah satu pihak tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri karena cacat badan atau penyakit yang dideritanya;
- Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali;
- Salah satu pihak melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab kabul pernikahan;
- Salah satu pihak beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidakharmonisan dalam keluarga dan tidak bisa hidup rukun.
Pembatasan pada alasan-alasan
terjadinya/dikabulkannya suatu perceraian sebagaimana diatur pasal
tersebut sejalan dengan prinsip UU No. 1 Tahun 1974 yang mempersulit
terjadinya perceraian karena tujuan perkawinan yang dikehendaki para
penyusun UU No. 1 Tahun 1974 adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia kekal dan sejahtera.
lebih lengkap : http://advokatgnr.com
lebih lengkap : http://advokatgnr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar