MENU

Kamis, 10 Maret 2016

. . : : Pedoman Pengelolaan Keuangan Pusat : : . .


Keuangan Negara
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya pasal 1 dan 2 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Keuangan negara tersebut meliputi:
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan negara dan penerimaan daerah;
d. Pengeluaran negara dan pengeluaran daerah;
e. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berhrga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk  kekayaaan  yang  dipisahkan  pada  perusahaan  negara/perusahaan daerah;
f. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
g. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Selanjutnya, dalam undang-undang tersebut pengelolaan keuangan negara diatur pada pasal 3 yaitu, keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang- undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan tersebut mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.

Ruang Lingkup Keuangan Negara
Perumusan keuangan negara dapat ditinjau melalui pendekatan dari sisi obyek, subyek, proses dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak  dan  kewajiban  negara  yang  dapat  dinilai  dengan  uang,  termasuk  kebijakan  dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi keseluruhan pelaku yang terkait dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara,  dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang, akan menimbulkan hak dan kewajiban negara   yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini perlu dikelola dalam suatu system pengelolaan keuangan negara. 

Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara diatur dalam bab II Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada pasal 6 ayat (1) diatur bahwa Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam penjelasan pasal tersebut diatur bahwa kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan rencana kerja Kementerian Negara/Lembaga (K/L), penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan penerimaan negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.

Pembagian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara

Pembagian kekuasaan pengelolaan keuangan Negara dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Pendelegasian Kekuasaan
Untuk  membantu  Presiden  dalam  penyelenggaraan  kekuasaan  pengelolaan  keuangan negara, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada :
1)    Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan  negara  yang  dipisahkan.  Menteri  Keuangan  sebagai  pembantu  Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya berperan sebagai Chief of Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia.
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut (a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, (b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN, (c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran, (d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan, (e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang, (f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara, (g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, (f) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.
Selanjutnya sub bidang pengelolaan fiskal terdiri dari fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
2)    Menteri/Pimpinan     Lembaga     selaku     Pengguna     Anggaran/Pengguna     Barang kementerian  negara/lembaga  yang  dipimpinnya.  Setiap  menteri/pimpinan  lembaga pada hakekatnya adalah Chief of Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan, yang mempunyai tugas sebagai berikut (a) menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya, (b) menyusun dokumen pelaksanaan  anggaran,  (c)  melaksanakan  anggaran  kementerian  negara  /lembaga yang dipimpinnya, (d) melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke kas negara, (e) mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya, (f) mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya, (g) menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya, (h) melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan undang-undang.
3).   Gubernur/bupati/walikota   selaku   kepala   pemerintahan   daerah   untuk   mengelola keuangan  daerah  dan  mewakili  pemerintah  daerah  dalam  kepemilikan  kekayaan daerah yang dipisahkan.
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, kekuasaan pengelolaan keuangan daerah diatur sebagai berikut:
a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD dengan tugas sebagai berikut:
–  menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
–  menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
–  melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
–  melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
–  menyusun     laporan     keuangan     yang     merupakan     per-tanggungjawaban pelaksanaan APBD.

b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah, dengan tugas sebagai berikut:
–  menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
–  menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
–  melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
–  melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
–  mengelola  utang  piutang  daerah  yang  menjadi  tanggung  jawab  satuan  kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
–  mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja  perangkat daerah yang dipimpinnya;
–  menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.

Sebagai catatan, pembagian kekuasaan pengelolaan keuangan negara seperti tersebut di atas tidak mencakup kewenangan di bidang moneter, yang antara lain meliputi kewenangan untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 D bahwa negara memiliki suatu bank sentral  yang susunan,  kedudukan, kewenangan, tanggung  jawab  dan  independensinya diatur dengan undang-undang. 

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 21, Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Prinsip pembagian kekuasaan perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme koordinasi (checks and balances) serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.

Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat  Dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara/Daerah, Perusahaan Swasta serta Badan Pengelola Dana Masyarakat

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18A ayat (2) menyatakan bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Selanjutnya dalam bab V dan VI undang-undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara diamanatkan bahwa:

a. Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter;
b. Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah;
c. Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah, Lembaga Asing atau sebaliknya (dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat);
d. Pemerintah Daerah  dapat  memberikan  pinjaman  kepada/menerima  pinjaman  dari daerah lain (dengan persetujuan DPRD);
e. Pemerintah  dapat   memberikan   pinjaman/hibah/   penyertaan   modal   kepada   dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah yang terlebih dahulu harus ditetapkan dalam APBN/APBD;
f. Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara;
g. Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan daerah;
h. Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah mendapat persetujuan DPR;
Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah setelah mendapat persetujuan DPRD;
Dalam keadaan  tertentu,  untuk  penyelamatan  perekonomian  nasional,  Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR;
Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat;
Gubernur/bupati/walikota  melakukan   pembinaan   dan   pengawasan   kepada   badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Daerah.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

APBN adalah undang-undang, sehingga merupakan kesepakatan antara Pemerintah dan DPR,  sebagaimana  disebutkan  dalam  pasal  23 Undang-Undang  Dasar  1945  yaitu: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara  ditetapkan  setiap  tahun  dengan  undang-undang  dan  dilaksanakan  secara terbuka dan bertanggung jawab  untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Dalam pasal
1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dimaksud dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pemerintah menyusun APBN setiap tahun dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara. APBN tersebut harus dikelola secara tertib dan  bertanggung  jawab  sesuai  kaidah  umum  praktek  penyelenggaraan  tata kepemerintahan yang baik. Sesuai 26 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Peran APBN bagi Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi
Kebijakan fiskal adalah salah satu perangkat kebijakan ekonomi makro dan merupakan kebijakan utama pemerintah yang diimplementasikan melalui APBN.  Kebijakan ini memiliki peran yang penting dan sangat strategis dalam mempengaruhi perekonomian, terutama dalam upaya mencapai target-target pembangunan nasional. Peran tersebut terkait dengan tiga fungsi utama pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi. APBN harus didesain sesuai dengan fungsi tersebut, dalam upaya mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas. 

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dijelaskan: fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian; fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi.
Fungsi alokasi berkaitan dengan intervensi Pemerintah terhadap perekonomian dalam mengalokasikan sumber daya ekonominya agar lebih efisien, sedangkan fungsi distribusi berkaitan dengan pendistribusian barang-barang yang diproduksi oleh masyarakat. Peran penting kebijakan fiskal dalam redistribusi dan alokasi anggaran pemerintah antara lain adalah penanggulangan kemiskinan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. 

Dalam konteks ini, kebijakan fiskal dapat dipergunakan untuk mempengaruhi sektor-sektor ekonomi atau kegiatan tertentu, untuk menyeimbangkan pertumbuhan pendapatan antarsektor ekonomi, antardaerah, atau antargolongan pendapatan. Peran kebijakan fiskal juga penting dalam menanggulangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana alam, wabah penyakit, dan konflik sosial.
Fungsi stabilisasi berkaitan dengan upaya menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi, sehingga perekonomian tetap pada kesempatan kerja penuh (full employment) dengan harga yang stabil. Fungsi stabilisasi yang ditujukan untuk meminimalisir volatilitas atau fluktuasi dalam perekonomian, merupakan esensi utama kebijakan APBN. Dengan peran stabilisasinya, kebijakan fiskal dipandang sebagai salah satu alat yang efektif untuk memperkecil siklus bisnis. Sejarah kebijakan fiskal Indonesia menunjukkan bukti tersebut selama  periode  krisis  ekonomi  1997/1998,  dan  krisis  2009.  

Kebijakan  ekspansif  fiskal melalui  pengalokasian  stimulus  fiskal  pada tahun  2009  mampu  menahan  ekonomi Indonesia dari dampak krisis, bahkan mampu membuat ekonomi tumbuh positif di tengah kondisi melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Stabilitas ekonomi terjaga, dan kesehatan fiskal dapat diwujudkan.  Tentu saja, hal tersebut dapat diwujudkan tidak semata melalui kebijakan fiskal yang tepat, tetapi didukung oleh kebijakan moneter dan kebijakan lain yang saling bersinergi.

1.3   Struktur Utama APBN dan Asumsi
Secara garis besar struktur APBN adalah, (a) Pendapatan Negara dan Hibah, (b) Belanja Negara, (c) Keseimbangan Primer, (d) Keseimbangan Umum (Surplus/Defisit Anggaran), (e)  Pembiayaan  Anggaran.  Asumsi  dasar  makro  ekonomi  sangat  berpengaruh  pada besaran komponen dalam struktur APBN. Asumsi dasar tersebut adalah (a) pertumbuhan ekonomi, (b) inflasi, (c) tingkat bunga SPN 3 bulan, (d) nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, (e) harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia (ICP),   dan (f) produksi/lifting minyak atau (g) lifting gas. Struktur APBN dituangkan dalam suatu format yang disebut I-account. Dalam beberapa hal, isi dari I-account sering disebut postur APBN. Penjelasan lebih lanjut mengenai komponen dalam struktur APBN terdapat pada poin yang membahas mengenai postur APBN. Tabel 1.1 menunjukkan  I-Account ringkas APBN dan APBN-P disertai besaran asumsi dasar  ekonomi  makro  yang  dipakai  sebagai  dasar.  Dari  tabel  tercermin  pengaruh perubahan asumsi dasar ekonomi makro terhadap perubahan angka dari APBN menjadi APBN-P.

1.3.1. Faktor-faktor Penentu APBN
Beberapa faktor penentu postur APBN antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendapatan Negara
Besaran pendapatan negara dalam tahun tertentu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) indikator ekonomi makro yang tercermin pada asumsi dasar makro ekonomi; (2) kebijakan pendapatan negara; (3) kebijakan pembangunan ekonomi; (4) perkembangan pemungutan pendapatan Negara secara umum; dan (5) kondisi dan kebijakan lainnya. Contohnya, target penerimaan negara dari SDA migas turut dipengaruhi oleh besaran asumsi lifting minyak bumi, lifting gas, ICP, dan asumsi nilai tukar. Target penerimaan perpajakan ditentukan oleh target pertumbuhan inflasi serta   kebijakan   pemerintah   terkait   perpajakan   seperti   perubahan   besaran pendapatan tidak kena pajak (PTKP), upaya ekstensifikasi peningkatan jumlah wajib pajak, kebijakan pemberian stimulus fiskal,  dan lainnya.

2. Belanja Negara
Besaran belanja negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) asumsi dasar makro ekonomi; (2) kebutuhan penyelenggaraan negara; (3) kebijakan pembangunan; (4) risiko (bencana alam, dampak kirisi global), (4) gejolak ekonomi makro,  (5)  kebijakan  stimulus  fiskal,  dan  (6)  kondisi  dan  kebijakan  lainnya Contohnya, besaran belanja subsidi energi dipengaruhi oleh asumsi ICP, nilai tukar, serta perkiraan volume BBM bersubsidi, dan kebijakan harga BBM bersubsidi.
3. Pembiayaan
Besaran pembiayaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) asumsi dasar makro ekonomi; (2) sumber dan kebutuhan pembiayaan; dan (3) kondisi dan kebijakan lainnya.

I-Account Ringkas dan Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2010 - 2013
Dasar Hukum APBN
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar hukum yang paling tinggi dalam struktur perundang-undangan  di  Indonesia.    Oleh  karena  itu  pengaturan  mengenai  keuangan negara selalu didasarkan pada undang-undang ini,   khususnya dalam bab VIII Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV. 

Dalam bab tersebut khususnya pasal 23 mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bunyi pasal 23:
ayat (1): “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

ayat (2): “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”.   Berdasarkan hal tersebut maka Pemerintah bersama-sama DPR menyusun Rancangan Undang-Undang APBN untuk nantinya ditetapkan, sehingga akan menjadi dasar bagi Pemerintah dalam mengelola APBN dan bagi DPR sebagai alat pengawasan.

ayat (3):   “Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui   rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu”. Hal ini dipertegas lagi dalam undang-undang nomor 17 tahun 2003 pasal 15 ayat (6) yang berbunyi “Apabila DPR tidak menyetujui  RUU  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1),  Pemerintah  Pusat  dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran sebelumnya”.

Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan dan stabilitas  perekonomian  serta  pemerataan  pendapatan.  Untuk  mewujudkan  tujuan  dan fungsi anggaran tersebut dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR dan Pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran Undang-Undang Dasar 1945. 

Pengaturan peran DPR dalam proses dan penetapan APBN diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Sementara itu peran  pemerintah  dalam proses penyusunan APBN diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Sesuai amanah Undang-undang nomor 17 tahun 2003, dalam rangka penyusunan APBN telah diterbitkan Peraturan Pemerintah nomor 90 tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga sebagai pengganti PP nomor 21 tahun 2004 tentang hal yang sama. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur hal-hal sebagai berikut,  

Pertama: pendekatan dan dasar penyusunan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L), penyusunan RKA-K/L tersebut disusun untuk setiap Bagian Anggaran, Penyusunan RKA-K/L menggunakan pendekatan a) kerangka pengeluaran jangka menengah, b) Penganggaran terpadu, dan c) penganggaran berbasis kinerja. Selain itu RKA-K/L juga disusun menurut klasifikasi organisasi, fungsi dan jenis belanja, serta menggunakan instrumen 
a) indikator kinerja, 
b) standar biaya, 
c) evaluasi kinerja.

Kedua: mengatur tentang proses penyusunan RKA-K/L dan penggunaannya dalam penyusunan rancangan APBN. Proses penyusunan RKA-K/L pada dasarnya mengatur tentang proses yang dimulai dari penetapan arah kebijakan oleh Presiden dan prioritas pembangunan nasional sampai dengan tersusunnya RKA-K/L, serta peranan dari Kementerian Perencanaan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Negara/Lembaga lainnya. RKA-K/L yang telah disusun tersebut digunakan sebagai bahan penyusunan nota keuangan, Rancangan APBN,   Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan dokumen pendukung pembahasan Rancangan APBN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Menaksir Harga Rumah Berdasarkan NJOP

Harga rumah di Jakarta bisa dikatakan tidak murah lagi. Bahkan, rumah petakan yang ukurannya kecil dijual dengan harga ratusan juta ru...