MENU

Senin, 22 Mei 2017

Dapatkah Advokat dan Non Advokat Bertindak Sebagai Kuasa dalam Satu Surat?

Pertanyaan :

Mohon pencerahan apakah boleh menurut hukum jika seorang advokat dan bukan berprofesi sebagai advokat bersama-sama bertindak selaku penerima kuasa dalam satu surat kuasa? Apakah sah kuasa dan tindakan kuasa itu di pengadilan karena tetangga kami baru mengetahuinya kemudian hari?

Jawaban :

Intisari:


Seorang bukan advokat bisa bersidang di pengadilan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bantuan Hukum”), yang menghadirkan partisipasi Negara untuk mendanai pembelaan terhadap masyarakat miskin, dimungkinkan hadirnya kalangan non advokat untuk ikut dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat miskin tersebut.

Mereka adalah: paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum. Mereka bisa bersama-sama dengan advokat dicantumkan dalam surat kuasa dalam rangka melakukan pembelaan hukum.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.



Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Sebelum menjawab, perlu kami jelaskan ada beberapa ketentuan yang mengatur bahwa seorang bukan advokat, bisa menerima kuasa dan bersidang di pengadilan, baik kasus perdata umum, agama, tata usaha negara maupun kasus pidana.

Kuasa dalam kasus perdata misalnya, berdasarkan Pasal 118 Het Herziene Indonesisch Reglemen/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”), gugatan dapat dimasukkan oleh penggugat atau kuasa hukumnya. Jadi, apabila seseorang ingin beracara di peradilan perdata, ia tidak harus mewakilkan kepada advokat.

Non Advokat Sebagai Penerima Kuasa
Seorang bukan advokat yang dapat menerima kuasa dan bersidang pada persidangan perdata, pengadilan agama, dan Tata Usaha Negara adalah:
1.    Jaksa (sebagai pengacara negara)
2.    Lembaga Swadaya Masyarakat  (lingkungan hidup)
3.    Biro hukum (Instansi pemerintah, badan atau lembaga negara, Badan Usaha Milik Negara/BUMN, Tentara Nasional Indonesia/TNI, dan Kepolisian RI/Polri)
4.    Serikat Buruh (Pengadilan Hubungan Industrial)
5.    Keluarga dekat (kuasa insidentil)

Sedangkan untuk persidangan kasus pidana yang dilakukan oleh oknum TNI, yang dapat menerima kuasa pada peradilan militer adalah Dinas Hukum TNI, yaitu bantuan hukum internal yang disediakan TNI untuk membela anggotanya yang diadili di peradilan militer pada semua tingkatannya.[1]

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bantuan Hukum”), yang menghadirkan partisipasi Negara untuk mendanai pembelaan terhadap masyarakat miskin, dimungkinkan hadirnya kalangan non advokat untuk ikut dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat miskin tersebut. Mereka adalah: paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum.[2] Mereka bisa bersama-sama dengan advokat dicantumkan dalam surat kuasa dalam rangka melakukan pembelaan hukum.[3]

Syarat Pemberi Bantuan Hukum Menurut UU Bantuan Hukum
UU Bantuan Hukum dengan tegas membatasi kalangan non-advokat untuk memberikan bantuan hukum, yaitu mengharuskan lembaga mereka memenuhi syarat:[4]
a.    berbentuk badan hukum,
b.    terakreditasi di Kementerian Hukum dan HAM RI,
c.    memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d.    memiliki pengurus, dan
e.    memiliki program bantuan hukum.

Selain itu, non-advokat hanya memberikan bantuan hukum di luar persidangan saja. Artinya, jika telah sampai ke persidangan, yang berhak melakukan pembelaan hukum hanyalah advokat. Hal-hal terkait pembelaan hukum, seperti membuat dan menandatangani surat gugatan, jawaban, replik, duplik, daftar alat bukti, kesimpulan, dst dilarang dilakukan oleh bukan advokat.

Sampai sekarang belum ada aturan yang mengatur sanksi hukum bagi kalangan bukan Advokat jika melakukan pelanggaran terhadap kejadian di atas karena mereka bukan anggota organisasi advokat (Perhimpunan Advokat Indonesia – PERADI). Namun jika merasa dirugikan, mereka bisa dilaporkan ke pihak Kepolisian dengan sangkaan memberikan keterangan palsu di persidangan.

Namun bagi advokat, khususnya advokat yang terdaftar di Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), pembiaran yang dilakukan oleh advokat, yaitu mengijinkan bukan advokat ikut menandatangani dokumen-dokumen upaya hukum di persidangan, jelas telah melanggar kode etik, sudah melakukan malpraktik hukum, yaitu membiarkan pihak yang tidak punya kapabilitas advokat untuk melakukan upaya hukum di persidangan.

Kepada yang tertera namanya pada surat kuasa, bisa dilaporkan kepada Komisi Pengawas Advokat dan Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) karena membiarkan terjadinya pelanggaran etik malpraktik advokat, yaitu membiarkan terjadinya pembelaan hukum yang dilakukan oleh pihak yang tidak berkompeten dan masuk dalam kategori menelantarkan klien.

Jadi, jika ada dalam surat kuasa advokat dan bukan advokat, seorang yang bukan advokat bisa melakukan pembelaan hukum di luar persidangan saja, dan selanjutnya jika sudah masuk ke pengadilan, hanya advokat saja yang bisa melakukan pembelaan hukum.

Dasar hukum:
10. Surat Ketua Mahkamah Agung  RI Nomor MA/KUMDIL/8810/IX/1987 Tahun 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Menaksir Harga Rumah Berdasarkan NJOP

Harga rumah di Jakarta bisa dikatakan tidak murah lagi. Bahkan, rumah petakan yang ukurannya kecil dijual dengan harga ratusan juta ru...