Pertanyaan :
Mohon pencerahan apakah boleh menurut hukum
jika seorang advokat dan bukan berprofesi sebagai advokat bersama-sama
bertindak selaku penerima kuasa dalam satu surat kuasa? Apakah sah kuasa
dan tindakan kuasa itu di pengadilan karena tetangga kami baru
mengetahuinya kemudian hari?
Jawaban :
Intisari:
Seorang bukan advokat bisa bersidang di pengadilan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bantuan Hukum”),
yang menghadirkan partisipasi Negara untuk mendanai pembelaan
terhadap masyarakat miskin, dimungkinkan hadirnya kalangan non advokat
untuk ikut dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat miskin tersebut.
Mereka
adalah: paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum. Mereka bisa
bersama-sama dengan advokat dicantumkan dalam surat kuasa dalam rangka
melakukan pembelaan hukum.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelum
menjawab, perlu kami jelaskan ada beberapa ketentuan yang mengatur
bahwa seorang bukan advokat, bisa menerima kuasa dan bersidang di
pengadilan, baik kasus perdata umum, agama, tata usaha negara maupun
kasus pidana.
Kuasa dalam kasus perdata misalnya, berdasarkan Pasal 118 Het Herziene Indonesisch Reglemen/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”), gugatan dapat dimasukkan oleh penggugat atau kuasa hukumnya. Jadi, apabila seseorang ingin beracara di peradilan perdata, ia tidak harus mewakilkan kepada advokat.
Non Advokat Sebagai Penerima Kuasa
Seorang
bukan advokat yang dapat menerima kuasa dan bersidang pada persidangan
perdata, pengadilan agama, dan Tata Usaha Negara adalah:
1. Jaksa (sebagai pengacara negara)
2. Lembaga Swadaya Masyarakat (lingkungan hidup)
3. Biro
hukum (Instansi pemerintah, badan atau lembaga negara, Badan Usaha
Milik Negara/BUMN, Tentara Nasional Indonesia/TNI, dan Kepolisian
RI/Polri)
4. Serikat Buruh (Pengadilan Hubungan Industrial)
5. Keluarga dekat (kuasa insidentil)
Sedangkan
untuk persidangan kasus pidana yang dilakukan oleh oknum TNI, yang
dapat menerima kuasa pada peradilan militer adalah Dinas Hukum TNI,
yaitu bantuan hukum internal yang disediakan TNI untuk membela
anggotanya yang diadili di peradilan militer pada semua tingkatannya.[1]
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bantuan Hukum”),
yang menghadirkan partisipasi Negara untuk mendanai pembelaan terhadap
masyarakat miskin, dimungkinkan hadirnya kalangan non advokat untuk ikut
dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat miskin tersebut. Mereka
adalah: paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum.[2] Mereka bisa bersama-sama dengan advokat dicantumkan dalam surat kuasa dalam rangka melakukan pembelaan hukum.[3]
Syarat Pemberi Bantuan Hukum Menurut UU Bantuan Hukum
UU
Bantuan Hukum dengan tegas membatasi kalangan non-advokat untuk
memberikan bantuan hukum, yaitu mengharuskan lembaga mereka memenuhi
syarat:[4]
a. berbentuk badan hukum,
b. terakreditasi di Kementerian Hukum dan HAM RI,
c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. memiliki pengurus, dan
e. memiliki program bantuan hukum.
Selain
itu, non-advokat hanya memberikan bantuan hukum di luar persidangan
saja. Artinya, jika telah sampai ke persidangan, yang berhak melakukan
pembelaan hukum hanyalah advokat. Hal-hal terkait pembelaan hukum,
seperti membuat dan menandatangani surat gugatan, jawaban, replik,
duplik, daftar alat bukti, kesimpulan, dst dilarang dilakukan oleh bukan
advokat.
Sampai
sekarang belum ada aturan yang mengatur sanksi hukum bagi kalangan
bukan Advokat jika melakukan pelanggaran terhadap kejadian di atas
karena mereka bukan anggota organisasi advokat (Perhimpunan Advokat
Indonesia – PERADI). Namun jika merasa dirugikan, mereka bisa dilaporkan
ke pihak Kepolisian dengan sangkaan memberikan keterangan palsu di
persidangan.
Namun
bagi advokat, khususnya advokat yang terdaftar di Perhimpunan Advokat
Indonesia (PERADI), pembiaran yang dilakukan oleh advokat, yaitu
mengijinkan bukan advokat ikut menandatangani dokumen-dokumen upaya
hukum di persidangan, jelas telah melanggar kode etik, sudah melakukan
malpraktik hukum, yaitu membiarkan pihak yang tidak punya kapabilitas
advokat untuk melakukan upaya hukum di persidangan.
Kepada
yang tertera namanya pada surat kuasa, bisa dilaporkan kepada Komisi
Pengawas Advokat dan Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia
(PERADI) karena membiarkan terjadinya pelanggaran etik malpraktik
advokat, yaitu membiarkan terjadinya pembelaan hukum yang dilakukan oleh
pihak yang tidak berkompeten dan masuk dalam kategori menelantarkan
klien.
Jadi,
jika ada dalam surat kuasa advokat dan bukan advokat, seorang yang
bukan advokat bisa melakukan pembelaan hukum di luar persidangan saja,
dan selanjutnya jika sudah masuk ke pengadilan, hanya advokat saja yang
bisa melakukan pembelaan hukum.
Dasar hukum:
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
10. Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor MA/KUMDIL/8810/IX/1987 Tahun 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar